Jakarta, Aktual.co —Ternyata tidak mudah untuk menggolkan gagasan Konferensi Asia Afrika itu. Baru dalam persidangan keenam, pada 30 April sore, Pak Ali berkesempatan mengajukan usulnya tentang, “Suatu Konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi Kolombo sekarang, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukkan negara-negara Asia, tetapi juga negara-negara Afrika lainnya.” Reaksi para Perdana Menteri atas usul tersebut bersifat skeptis.
Roeslan Abdulgani melukiskan: “PM Burma U Nu dan PM Pakistan Moh. Ali agak ragu-ragu, tapi tidak berani menolak terang-terangan. Mereka mau memberikan persetujuannya, tapi hanya dalam prinsipnya saja. PM Sri Lanka Sir John Kotelawala lebih ragu-ragu lagi. Sedangkan PM India Nehru mengatakan bahwa terlalu banyak kesulitan untuk melaksanakan gagasan Konferensi demikian. Lagi pula ikhtiar-ikhtiar terdahulu untuk mengorganisasi Konferensi sebesar dan seluas gagasan Indonesia ‘had proved abortive’, mati sebelum dilahirkan! Jelas sekali: semua skeptis dan pesimistis.”
Tetapi Pak Ali tidak mundur; dan tidak melepaskan usulnya. Ia mengajukan persetujuan minimal: “Saya akan merasa puas apabila Konferensi Kolombo dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri Konferensi A-A demikian.”
Dengan kata lain, jika para Perdana Menteri itu masih pada ragu, berilah kesempatan kepada Indonesia untuk merintis dan memeloporinya, dan jangan menghalanginya. Atas ketetapan hati delegasi Indonesia itu, semua pada mengangguk, dan akhirnya Indonesia diberikan dukungan moral untuk mensponsori Konferensi yang dicita-citakan.
Komunike Konferensi Kolombo menyatakan: “Para PM telah membicarakan perlu/tidaknya mengadakan sebuah konferensi A-A, dan menerima baik sebuah usul bahwa PM Indonesia akan menyelidiki kemungkinannya.” Pernyataan ini dicantumkan di bagian terakhir sendiri dari seluruh Komunike Konferensi Kolombo, seakan-akan sekadar embel-embel saja. Namun bagi Indonesia, sesuatu yang boleh jadi dipandang sebagai embel-embel itu justru memberikan dorongan ketetapan hati untuk menaikkan “embel-embel” itu menjadi “umbul-umbul”, untuk dipancangkan di ketinggian demi kehormatan dan kebesaran bangsa (Abdulgani, 2013: 24-25).
Tidak ingin kehilangan momentum, Kabinet Ali Sastroamidjojo segera menentukan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh. Semua pemangku kepentingan sibuk; tetapi yang paling sibuk adalah Kementerian Luar Negeri. Rencana perhelatan para pemimpin Asia-Afrika ini dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Sunario dan dibantu oleh seluruh staf dan pegawainya dengan diawasi secara langsung oleh PM Ali sendiri. Pusat roda aktivitas terletak di tangan Sukardjo Wirjopranoto, Kepala Direktorat Asia dan Timur-Tengah dan dalam perkembangannya mendapat topangan penting dari Sekjen Deplu yang baru beberapa bulan menjabat, yakni Roeslan Abdulgani.
Bersambung
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual
Artikel ini ditulis oleh: