Jakarta, Aktual.co —Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan. Besar harapan kami kepada Tuan, mudah-mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka; untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru.

Cara Caesar, yang menggunakan kekuasaan perjuangan hidup telah kandas di Moskow dan Washington dan juga di Roma. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan.
     
Berkat ketekunan dan motivasi, momen bersejarah itu pun tiba. Konferensi A-A dibuka pada 18 April 1955, dengan dihadiri ole para pemimpin dari 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia saat itu. Negara-negara tersebut adalah: Afghanistan, Arab Saudi, Burma, Ceylon (Sri Lanka), Republik Rakyat China, Ethiopia, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Mesir, Nepal, Pakistan, Filipina, Siprus, Sudan, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Utara (Republik Demokratik Vietnam), Vietnam Selatan (Republik Vietnam), Yaman (Kerajaan Mutawakkilin Yaman), Yordania.

Selain para pemimpin dari 29 negara itu, datang pula para peninjau dari luar negeri, antara lain: Uskup Besar Makarios dari Siprus, yang waktu itu belum merdeka; Burhanudin (pejuang nasionalis dari Semenanjung Malaya); Mufti Besar Amien El Husaini dari Palestina; pejuang-pejuang kemerdekaan dari Afrika Barat seperti Kwame Nkrumah (pejuang kemerdekaan Ghana/Gold Coast); dari Afrika Utara seperti Salah Ben Yusuf (Tunisia), Allal El Fassi (Maroko), Husein Ait Ahmed dan Yazid (Aljazair); dari Afrika Selatan dan Tengah seperti Cachalia, Nagdee, dan Mosen (para pemimpin The African National Congress). 

Melalui perhelatan ini, Indonesia bukan hanya memainkan peran internasionalnya, tetapi juga menunjukkan nasionalismenya. Dalam jamuan ramah-tamah, Indonesia—sesuai dengan permintaan Bung Karno—tidak menyuguhi tamunya dengan makanan Eropa, melainkan dengan makanan khas Indonesia. Maka disajikanlah sate, soto, dan gado-gado untuk tamu-tamu asing itu. Sedangkan untuk makanan ringannya adalah klepon, pukis, lemper, kue lapis, bika ambon, dan dawet.

Prosesi pembukaan dimulai dengan perjalanan kaki para delegasi dari berbagai negara dari Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan warna. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet disepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan sebutan “Langkah Bersejarah” (The Bandung Historical Walks), yang mengubah kisah perjalanan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Bersambung

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual

Artikel ini ditulis oleh: