Selama 50 menit seluruh hadirin duduk terpukau mendengarkan oratio-nya Bung Karno dalam bahasa Inggris berlogat Jawa, yang padat, bernas, dan menggugah, dengan intonasi yang bergelombang menuju suatu klimaks, juga dalam gaya teatrikal yang dramatis, dinamis, dan membangkitkan (sugestif). Sampai 10 kali pidato beliau terputus karena tepuk tangan hadirin yang bergemuruh.

Usai Pidato Pembukaan oleh Presiden Soekarno, Sidang Pleno pertama dimulai, hingga diskors pada pukul 13.00 dan dilanjutkan kembali pada pukul 15.00. Selama jeda persidangan ini, terjadi sesuatu yang sangat menegangkan. Hujan besar mengguyur Kota Bandung, dan kala itu Gedung Merdeka ternyata bocor. Air menggenangi ruang konferensi. Meja dan kursinya pun basah. Penjaga gedung segera menghubungi Roeslan Abdulgani, yang saat itu berada di Hotel Trio, sekitar 1 km dari Gedung Merdeka. Penjaga gedung melaporkan bocornya Gedung Merdeka. “Payah Pak! Basah di mana-mana. Air menggenang di lantai,” jelas penjaga gedung kepada Pak Roeslan.

Tanpa menyelesaikan makan siang, Roeslan dan stafnya langsung menuju Gedung Merdeka. Setiba di tempat, ia dan staf segera menanggalkan bajunya, sehingga hanya bercelana dan berkaos dalam saja mengepel lantai, mengeringkan meja dan kursi. Berbekal karung goni dan lap sederhana mereka gunakan untuk mengeringkan ruangan. Untuk sekali, setelah peristiwa itu hingga Konferensi berakhir pada 24 April 1955, Bandung tidak “terserang” hujan lagi. Mungkin curah hujan sudah terkuras di hari pertama Konferensi. Namun ada penjelasan lain yang jenaka. Konon kabarnya, panitia lokal telah mengerahkan segala macam kekuatan “gaib” untuk menolak hujan, dengan keris, sapulidi, lombok merah, dan pakaian dalam lusuh yang dilemparkan ke atas genteng Gedung Merdeka.

Selama Konferensi berlangsung, Roeslan tidak pernah membocorkan peristiwa ini kepada publik, bahkan tidak melaporkannya kepada PM Ali. “Coba pikirkan, bagaimana malu kita andai kata sampai ada delegasi yang mengetahui apalagi para wartawan luar negeri. Lebih-lebih lagi yang tidak simpatik terhadap kita. Dapat diejek dan dihina lagi seperti di Bogor tempo hari sebagai ‘beggars who never will learn’, sebagai pengemis-pengemis dungu yang tak pernah maju-maju,” ujar Roeslan. Baru setelah Konferensi selesai dengan sukses, Roeslan pun melapor pada PM Ali. “Semula beliau ‘merengut’ tetapi kemudian tertawa tentang laporan ‘mobilisasi ngligo’ kita dengan celana dan kaos dalam saja.” (Abdulgani, 2013: 88-89).

Konferensi Asia-Afrika itu sendiri berhasil menyepakati sepuluh prinsip dasar yang dikenal sebagai Dasasila Bandung. Kesepuluh prinsip dasar itu adalah:
1.    Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2.    Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3.    Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4.    Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5.    Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6.    a). Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-negara besar. b).Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7.    Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8.    Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9.    Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10.    Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Bersambung

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual

Artikel ini ditulis oleh: