Konferensi ini berjalan sukses dengan menarik perhatian dunia. Bahkan dalam pandangan banyak kalangan, berita-berita konferensi ini yang muncul di media internasional mengalahkan pemberitaan meninggalnya fisikawan besar Albert Einstein. Itu sebabnya, Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru menyatakan, “Bandung telah menjadi pusat perhatian – bahkan barangkali boleh saya menyebutnya sebagai ibu kota Asia dan Afrika selama waktu ini.”
Dalam ungkapan Roeslan Abdulgani, lewat Konferensi Asia-Afrika itu, Bandung berperan sebagai “kota penghubung”, “pusat koneksi” atau “center of connection” dari negara-negara dan rakyat Asia-Afrika dalam menyusun barisan kesetiakawanannya. Abdulgani menyebut jaringan kesetiakawanan dan para “penyelundup semangat kemerdekaan” yang terhubung dengan Bandung ini dengan istilah “The Bandung Connection”. Tentang Bandung sebagai pusat koneksi solidaritas Asia-Afrika itu, ia gambarkan sebagai berikut:
Bandung pada waktu tidak hanya berfungsi sebagai ‘center of connection between Governments’ antarpemerintah, tetapi juga menjadi pusat penghubung antarpejuang-pejuang Asia-Afrika. Utusan-utusan yang dapat meloloskan diri dari kepungan dan belenggu penjajahan di Afrika Selatan dan Afrika Tengah; pelarian-pelarian politik dari Aljazair, Maroko, Tunisia; pejuang-pejuang pengembara dari Palestina; pembangkit-pembangkit hati- nurani rakyat Negro berkulit hitam dari Amerika; kaum intelek dari Semenanjung Malaya yang pada waktu itu belum merdeka; pokoknya semua ‘penyelundup semangat kemerdekaan’, ‘penyelundup’ di mata kaum kolonialis dan kaum imperialis dan bukan penyelundup narkotika dari benua-benua lain, datang bertemu di Bandung. Bandung tidak hanya tempat berteduh bagi mereka, tetapi juga tempat pemberi inspirasi baru dan kekuatan baru bagi mereka. Bandung berfungsi juga sebagai ‘dalang’ dalam kelanjutan proses sejarah kebangkitan bangsa-bangsa yang masih dijajah.
Konferensi A-A memiliki dampak yang luas dan panjang. Keberadaan PBB yang terancam robek oleh poros-poros permusuhan antara Blok Barat dan Blok Timur, menemukan jalan alternatif berkat kemunculan solidaritas non-blok dari negara-negara Asia-Afrika yang terkoneksi dalam jaringan The Bandung Connection. Semangat non-blok yang terkandung dalam Dasasila Bandung ini kemudian dikampanyekan pada dunia oleh Bung Karno dalam pidatonya di PBB pada 30 September 1960, “To Build the World a New”, yang sekaligus memperkenalkan Pancasila kepada dunia. Dalam pidatonya ini, Bung Karno antara lain menyangkal pendapat seorang filosof Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ajaran itu. “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.”
Selanjutnya ia katakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu; tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.” Lantas ia simpulkan, “Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional” (Soekarno, 1960, 1989: 63-64).
Semangat non-blok kemudian meluas pengaruhnya ke berbagai belahan dunia lain, yang pada gilirannya mendasari terbentuknya Gerakan Non-Blok sebagai gerakan negara-negara yang tidak memihak atau mendukung dua blok besar saat itu, yaitu Sosialisme/Komunisme dan Liberalisme/Kapitalisme. Gerakan Non-Blok (Non Aligment Movement) ini didirikan di Beograd (Yugoslavia) pada 1961, yang digagas bersama oleh Presiden Indonesia pertama, Soekarno, Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir kedua, Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana pertama, Kwame Nkrumah, dan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, Presiden Pakistan, Mohammad Ali Jinnah, dan Perdana Menteri Burma, U Nu.
Gerakan Non Blok ini didasari atas beberapa prinsip: (1) Saling menghormati kedaulatan teritorial, (2) Saling tidak melakukan agresi, (3) Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri, (4) Setara dan saling menguntungkan, dan (5) Hidup berdampingan secara damai.
Jejak pengaruh Konferensi Asia-Afrika di Bandung berdampak panjang, baik bagi dunia maupun bagi Indonesia sendiri. Joint-stament antara Richard Nixon (Presiden USA)-Chou En Lai (Perdana Menteri RRC) maupun Richard Nixon-Leonid Breznev (Pemimpin Uni Soviet) pada tahun 1972 menggunakan istilah-istilah dari prinsip Dasasila Bandung. Joint Statement itu antara lain menggunakan istilah “Peaceful co-existence” (hidup berdampingan secara damai antarnegara dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda), yang merupakan inti pokok dari semangat Bandung.
Bagi Indonesia sendiri, pengaruh Konferensi Asia-Afrika dirasakan antara lain saat persoalan Irian Jaya (Papua) dibicarakan dalam Majelis Umum PBB pada 19 November 1969. Pada hari ini, hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada pertengahan 1969 dengan hasil mutlak bahwa rakyat Irian Barat menyatakan tetap bergabung dalam Republik Indonesia diminta oleh Indonesia dan Belanda untuk “dicatat” dan “diketahui” oleh PBB. Dengan begitu PBB secara resmi akan menyaksikan selesainya konflik yang bertahun-tahun antara Indonesia-Belanda mengenai persoalan Irian Barat ini.
Tanpa diduga, Wakil Ghana, Duta Besar Akwai, mengusulkan supaya perdebatan ditunda untuk waktu yang tak tertentu dan supaya kepada rakyat Irian Barat diberi waktu sampai akhir tahun 1975 untuk menyatakan pendapatnya. Wakil Ghana beralasan bahwa prinsip “musyawarah dan mufakat” dari Pepera ini akan dioper oleh pemerintahan-pemerintahan rasialis dan kolonialis kulit putih di Afrika Selatan, Rhodesia dan Portugal dalam menghadapi gerakan-gerakan kemerdekaan, yang secara implisit menyamakan Indonesia dengan rezim apartheid di Afrika Selatan dan Portugal. Tetapi di balik itu, sesungguhnya terselip juga motif lain. Pemerintah Ghana yang baru ingin mempertontonkan “kehebatannya” sebagai pembela bangsa-bangsa kulit hitam Negroid, sebagai konpensasi setelah menyingkirkan Presiden Kwame Nkrumah yang sangat disegani di dunia. Usul ini semula disokong oleh 30 negara; kebanyakan dari Afrika Tengah di kawasan Selatan Sahara.
Di tengah perdebatan yang hangat pada 19 November itu, Ketua Delegasi Aljazair, Yazid, yang datang sebagai peninjau dalam Konferensi A-A, menghampiri tempat duduk delegasi Indonesia, dan berbisik kepada Roeslan Abdulgani bahwa ia akan ikut bicara untuk “melabrak” wakil Ghana. Dengan bahasa Perancisnya yang fasih dan indah, Yazid berbicara selama 40 menit. Ia antara lain menjelaskan sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam membebaskan Tanah Airnya termasuk Irian Barat. Di bagian akhir pidatonya, ia menyinggung Konferensi A-A dan semangat Bandung:
Siapa yang menyamakan politik Indonesia terhadap Irian Barat dengan politik kaum rasialis di Afrika Selatan atau Portugal, mereka itu lupa akan Konperensi Bandung. Di Bandung pejuang-pejuang kemerdekaan seluruh Asia-Afrika dibela oleh Indonesia. Mereka diberi perlindungan. Ghana sendiri waktu itu belum merdeka penuh. Nama Ghana belum ada. Yang digunakan masih nama kolonial, yaitu “Pantai Mas”, “The Gold Coast”. Namun tokoh mereka diundang ke Bandung. Dan di Bandung sanalah Indonesia memainkan peranan yang menentukan dalam membela gerakan-gerakan kemerdekaan Nasional di mana-mana, termasuk Ghana.
Begitu besar pengaruh pidato Yazid itu, sehingga mulai rontoklah pengikut-pengikut Ghana. Apalagi setelah wakil-wakil Saudi Arabia, Iran, Kuwait, India, Thailand, Filipina, Malaysia dan lain-lain mengeluarkan pendapat yang senada dengan wakil Aljazair. Maka, ketika pemungutan suara di malam hari, pukul 19.30, tidak ada satu suara pun yang berani mengeluarkan suara “anti”, paling jauh hanyalah “abstain”, berkat masuknya “Jiwa Bandung”. Dokumen PBB Nomor UNGA A/PV.1803 tertanggal 19 November 1969, menegaskan bahwa seluruh resolusi untuk “mencatat” (take note) perjanjian Indonesia-Belanda tentang hasil Pepera di Irian Barat itu diadopsi oleh 84 suara setuju (lawan kosong), dengan 30 suara abstain (Abdulgani, 2013: 13-17).
Kepeloporan Indonesia dalam mengembangkan perikehidupan kebangsaan yang bebas, kesetiakawanan negara-negara yang baru merdeka dan belum merdeka di Asia-Afrika, serta dalam Gerakan Non Blok, membuat nama pemimpin Indonesia Ir. H. Soekarno dikenang di negara-negara Asia-Afrika. Di beberapa negara, namanya diabadikan sebagai nama jalan. Di kawasan al-Hay al-Asyir Madinat al-Nashr (Nasr City) Mesir, ada nama Jalan Ahmad Soekarno. Di ibukota Maroko, Rabat ada juga nama Jalan Soekarno. Di Pakistan, ada juga nama Presiden RI pertama ini, yaitu Soekarno Square Khyber Bazar di Peshawar dan Soekarno Bazar di Lahore. Pemberian nama ini sudah tentu tidak terlepas dari bagaimana peran penting dan pengaruh diplomasi Indonesia saat itu di pentas internasional terutama karena peran yang diperjuangkan para pemimpin Indonesia dalam mendorong dan menjaga perdamaian dunia.
Selesai
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual
Artikel ini ditulis oleh: