Indonesia Tak Masuk Pasien IMF, Pengamat Sebut Optimisme Jokowi Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

JAKARTA – Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Rosdiana Sijabat bersyukur Indonesia tidak termasuk dalam 28 negara yang disebut Presiden Joko Widoso (Jokowi) menjadi “pasien” International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional.

Menurut Rosdiana, meski banyak negara terancam kolaps, Presiden Jokowi tetap optimis dengan ekonomi Indonesia yang terus membaik, dan menjadikan landasan kuat buat Indonesia untuk tidak menjadi pasien IMF seperti negara-negara lain.

“Menurut saya adalah sesuatu yang bagus. Kita tahu kira-kira 50-an negara itu kinerja ekonominya sudah melambat, ada banyak negara yang mengalami hiper inflation inflasi yang di atas 100% dan terakhir kita mendengar bahwa ada sekitar kurang lebih 28 negara ini sudah siap-siap minta tolong kepada IMF,” kata Rosdiana saat dihubungi, Jumat (14/10).

Selain itu, lanjut Rosdiana, juga dipengaruhi oleh optimisme dari Presiden Jokowi menciptakan rasa confidence yang ditangkap sebagai sinyal positif oleh para pelaku pasar, bahwa Pemerintah Indonesia melakukan antisipasi-antisipasi ekonomi yang baik di tengah situasi global tidak terlalu baik.

Rosdiana berharap, para menteri di kabinet Jokowi menyambut optimisme presiden dengan melakukan langkah cepat dalam mengantisipasi terhadap ancaman krisis global.

“Ini harus disambut oleh para menteri supaya sama-sama menyiapkan antisipasi, bahwa apapun sebenarnya bisa terjadi tetapi komitmen kita adalah komitmen pemerintah adalah bagaimana kita tidak menjadi pasien dari IMF,” ujarnya.

Dikatakan akademisi itu, siatuasi saat ini tidak baik di tengah kondisi Rusia dan Ukraina yang tidak jelas, kemudian dampak pandemi selama kurang lebih 3 tahun ini juga tidak terlalu baik untuk berbagai negara, serta ancaman inflasi selalu menjadi ketakutan tersendiri karena harga komoditas pangan, harga energi di tingkat internasional terus naik dan itu membuat tekanan inflasi.

“Nah yang menjadi problem adalah banyak negara, terutama di negara-negara maju juga mengalami inflasi yang tinggi dan ini tidak baik bagi negara-negara emerging country dan juga negara kita. Sehingga trend pengetatan suku bunga yang dilakukan bank sentral di berbagai negara, misalnya di Amerika serikat dan di Eropa itu juga akan berdampak kepada kita,” ucapnya.

“Tetapi saya kira ketika presiden mengatakan kita tidak akan menjadi pasien IMF, ada dasar fundamental ekonomi makro yang relatif baik yang kita miliki. kita tahu bahwa sebenarnya tren pertumbuhan ekonomi kita setidaknya selama beberapa kuartal terakhir mulai dari kuartal 4 di 2021 itu sudah membaik,” sambungnya.

Dijelaskan Rosdiana, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai dari kuartal 4 2021 itu sudah di 5% atau secara konsisten 5,2%, kemudian di kuartal 1 tahun ini tercatat 5,1% kemudian 5,44. Artinya, pemerintah punya kepercayaan diri bahwa Indonesia bisa terhindar dari perambatan kinerja perekonomian dan juga berbagai kebijakan moneter dan fiskal yang dikombinasikan pemerintah.

“Hal lain yang memungkinkan kita, juga pemerintah percaya diri bahwa sebenarnya di tengah kondisi global yang tidak baik ini perekonomian kita itu sangat ditopang oleh kekuatan ekonomi domestik, yaitu yang mana sekitar 50% PDB kita itu ditopang oleh konsumsi rumah tangga,” jelasnya.

“Ekspor kita yang merupakan salah satu bentuk independensi kita dengan perekonomian global itu kan sekitar 30% dari PDB, jadi sebenarnya meskipun aktivitas perekonomian kita secara global itu intens tetapi hal yang terjadi secara internasional sebenarnya tidak terlalu berdampak tajam ke dalam perubahan kinerja pertumbuhan ekonomi kita,” tutupnya. (***)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano