Petugas mengumpulkan sampah dari berbagai daerah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Randukuning Kabupaten Batang, Jawa Tengah Jumat (22/10/21). . ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putr (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

Jakarta, Aktual.com – Indonesia mulai berupaya menerapkan strategi pengelolaan sampah makanan lewat kajian Food Loss and Waste Dalam Rangka Mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon yang diinisiasi oleh Bappenas bekerja sama dengan Waste4Change, World Research Institute (WRI), didukung oleh UK-FCDO.

Hasil Kajian FLW yang diluncurkan pada Juni 2021 lalu ini juga dapat dijadikan pedoman bersama untuk mengurangi timbulan FLW di Indonesia.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 menyebutkan bahwa sampah makanan merupakan jenis sampah terbanyak yang timbul, yaitu 39,8 persen dari seluruh jenis sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia.

Perencana Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas, Anggi Pertiwi Putri, mengatakan data ini menimbulkan ketimpangan dengan kondisi kekurangan pangan yang terjadi di masyarakat, dimana 8,34 persen penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan pangan.

“Selain itu, berdasarkan data dari Global Food Security Index (GFSI), Indonesia menempati peringkat ke-65 dari 113 negara, yang bahkan menempati posisi di bawah negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, integrasi pengelolaan Food Loss and Waste masuk menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 untuk poin nomor 6, Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, khususnya untuk Pembangunan Rendah Karbon,” papar dia.

Consulting Manager dan Team Leader FLW Study dari Waste4Change, Anissa Ratna Putri, memaparkan, pada 2000 – 2019, timbulan Food Loss and Waste (FLW) Indonesia mencapai 115 – 184 kg/kapita/tahun, atau total timbulan sebanyak 23 – 48 juta ton/tahun.

“Dari sisi sektor dan jenis pangan, timbulan terbesar terjadi di tanaman pangan, kategori padi-padian sebanyak 44 persen. Sementara sektor pangan paling tidak efisien adalah tanaman hortikultura, tepatnya di kategori sayur-sayuran, sebanyak 62.8 persennya tidak efisien. Artinya lebih banyak sayur-sayuran yang terbuang daripada yang terkonsumsi,” papar Anissa.

Lebih jauh, Hasil Kajian FLW Bappenas bersama Waste4Change tersebut menjadi referensi dan rekomendasi untuk menyusun strategi pengelolaan FLW dan upaya mengurangi FLW di Indonesia.

“Hasil kajian merekomendasikan 45 strategi yang dikelompokkan dalam 5 Arah Kebijakan Strategi Pengelolaan FLW di Indonesia, diantaranya Perubahan Perilaku, Pembenahan Penunjang Sistem Pangan, Penguatan Regulasi & Optimalisasi Pendanaan, Pemanfaatan FLW, Pengembangan Kajian & Pendataan FLW. Tanpa pengendalian, diestimasikan timbulan FLW Indonesia pada 2045 dapat mencapai 344 kg/kapita/tahun. Sementara dengan skenario strategi yang disusun, diestimasikan timbulan FLW pada 2045 dapat ditahan di 166 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu, Waste4Change pun ikut memberi solusi FLW dengan melakukan pengelolaan sampah bertanggung jawab dengan pengomposan dan pengolahan menggunakan Black Soldier Fly,” demikian jelas Anissa.

Sementara itu, terkait hubungan antara timbulan FLW dengan Ketahanan Pangan Nasional, Pakar Food Loss dan Food Security, yang juga Wakil Rektor bagian Pendidikan dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor, Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si, menyampaikan, “Berdasarkan Global Hunger Index (GHI), selama beberapa tahun Indonesia berada pada level Serious dengan score 20 – 34.9. Pada 2020, Indonesia akhirnya masuk ke level Moderate dengan score 19.1 dari range 10.0 – 19.9. Meskipun masih dekat dengan baseline level Moderate, ini menunjukkan pembangunan berjalan ke arah yang lebih baik,”.

Drajat menambahkan, “Pangan di Indonesia, setara kalori dan protein, tersedia berlebih. Tapi tidak semua masyarakat bisa mengaksesnya. Sementara dari hasil kajian Bappenas dan Waste4Change, timbulan FLW di Indonesia sangat besar. Ini menunjukkan ketimpangan yang cukup besar dan sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengurangi dan mengelola FLW agar ketersediaan pangan di Indonesia lebih merata,” ujar Drajat.

Salah satu strategi dan solusi pengelolaan FLW adalah pemanfaatan FLW, yang sudah diterapkan oleh organisasi bank makanan yang diinisiasi oleh kelompok masyarakat secara mandiri, salah satunya Garda Pangan.

“Kami mengumpulkan makanan berlebih dari restoran, katering, bakery, hotel, lahan pertanian, event, pernikahan, dan donasi individu, dengan melewati serangkaian uji kelayakan makanan, untuk disalurkan pada masyarakat pra-sejahtera di Surabaya dan sekitarnya,” ujar Founder Garda Pangan, Eva Bachtiar.

Hingga saat ini, Garda Pangan telah berhasil menyelamatkan 183,233 porsi makanan yang setara dengan 43 ton potensi sampah sisa makanan, dan telah mendistribusikan makanan-makanan tersebut ke 127,191 penerima manfaat. “Kami berharap dapat semakin memperluas cakupan area kami, agar bisa menyelamatkan lebih banyak FLW, dan menyentuh lebih banyak masyarakat pra-sejahtera yang kekurangan pangan, di berbagai wilayah di Indonesia,” demikian tutup Eva.

Dengan adanya kolaborasi bersama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam berbagai studi dan riset yang bersifat evidence-based, Waste4Change terus berupaya meningkatkan keahlian riset dan konsultansi di berbagai fokus bidang persampahan. Selain itu, Waste4Change juga berharap, keberadaan dan keterlibatan tim ahli Waste4Change dapat berkontribusi menyumbangkan bahan rujukan, sekaligus mendukung upaya pemerintah memperkuat implementasi ekonomi sirkular dan ketahanan nasional, khususnya di bidang persampahan.

Alangkah baiknya bila kesadaran untuk mengurangi sampah makanan ini dimulai dari langkah kecil setiap individu, seperti merencanakan menu dan porsi sebelum memasak agar tidak terbuang, setelah itu simpan dengan baik agar tidak menjadi basi dan terbuang sia-sia.

(Shavna Dewati Setiawan | ANTARA)

Artikel ini ditulis oleh:

Aktual Academy