Seorang teknisi melakukan perawatan rutin menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, di Kampus Dharma Persada Jakarta, Rabu (2/11). Seiring tingginya akses data komunikasi 4G, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk terus melakukan ekspansi bisnisnya yang per Juni 2016 telah memiliki total 13 ribu sites terdiri berbagai tipe menara dan akan menargetkan tambahan 2000 tower pada tahun ini. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi terus ngotot untuk menggolkan revisi Peraturan Pemerintah No 52/2000 dan PP No 53/2000 terasa aneh. Padahal dengan revisi itu justru melahirkan liberalisasi sektor telekomunikasi.

Kedua PP itu adalah, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Saat ini, posisi kedua PP ity sudah di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Kengototan pihak Kemenkominfo itu disinyalir adanya gratifikasi dari kedua operator asing, yaitu PT XL Axiata Tbk dan PT Indosat Ooredo Tbk terhadap pejebat Kemenkoninfo.

“Dari informasi yang kami terima, ada aliran dana dua operator seluler milik asing dalam revisi PP 52 dan 53 ke sejumlah oknum pejabat Kemenkominfo dengan dalih membiayai konsultan untuk melakukan penyusunan draft revisi PP 52 dan 53 itu,” cetus Koordinator Komite Anti Suap dan Pungli Indonesia (KASPI), Noer Arifien, dalam keterangan yang diterima, Kamis (17/11).

Materi revisi itu, kata dia, akan dititikberatkan pada network dan spectrum sharing, serta penurunan tarif interkoneksi antar operator.

Menurutnya, yang bisa dijadikan bukti adaya dugaan aliran dana ke sejumlah oknum pejabat Kemenkominfo untuk merevisi kedua PP itu adanya surat bersama dari operator Indosat dan XL pada tahun 2015. Kedua operator itu meminta agar Kemenkominfo melakukan revisi PP 52 dan 53 itu dengan mengubah beberapa pasal.

“Terutama, yang terkait penambahan kewajiban bagi setiap operator melaksanakan network dan spectrum sharing, serta penghapusan kewajiban membangun jaringan bagi setiap operator yang telah mendapatkan izin,” cetus dia.

Klausul-klausul yang direvisi itu, tandas dia, tentu saja menguntungkan kedua operator yang membiayai konsultan untuk melakukan revisi kedua PP itu.

“Hal ini merupakan bentuk dugaan gratifikasi oleh kedua operator tersebut dengan dalih membiayai konsultan untuk melakukan revisi kedua PP itu,” jelas Noer.

Dan jika revisi itu tetap dilaksanakan, kata dia, maka negara dan masyarakat sebagai stakeholder dari BUMN telekomunikasi yaitu PT Telemunikasi Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya Telkomsel akan dirugikan ratusan triliun.

Karena merekan telah menanggung beban biaya pembangunan infrastruktur telekomunikasi di seluruh pelosok negeri. Masyarakat juga akan menanggung kerugian buruknya layanan akibat beban jaringan pasca network dan spectrum sharing diimplementasikan.

Sementara keuntungan Indosat dan XL sangat jelas dari adanya revisi itu. Karena Indosat dan XL tidak wajib serta tidak perlu lagi membangun jaringan terutama di luar Pulau Jawa yang konsumennya tidak sebanyak di Pulau Jawa. Karena jika membangun jaringan, Indosat dan XL akan terbebani dengan biaya yang mahal dan pengembalian investasi yang lama.

“Sehingga Indosat dan XL cukup menggunakan jaringan dan frekuensi milik Telkom dan Telkomsel yang selama ini terus membangun jaringan sampai ke pelosok negeri untuk merealisasikan visi besar Trisakti dan Nawacita Presiden Joko Widodo,” cetusnya.

Kondisi itu memang diatur diatur secara jelas dalam revisi itu. Terlihat sangat jelas sekali adanya pesanan pasal-pasal dan ayat-ayat yang sangat menguntungkan kedua operator Indosat dan XL yang sahamnya dikuasai oleh asing itu.

“Itu bisa kita lihat dalam rancangan revisi PP 52 dan 53 itu, yang saat ini sedang diuji publik oleh Kementerian Kominfo melalui website resmi mereka,” tegasnya.

Dia menambhakan, yang paling mencolok adalah pasal terkait spectrum sharing antar operator yang dapat menciptakan monopoli. Ini diawali dengan perjanjian antar dua operator terkait penggunaan frekuensi yang menjurus kepada persekongkolan itu.

Dimana, kata dia, dalam perjanjian tersebut juga terdapat pengaturan produksi, harga, maupun penguasaan pangsa pasar yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat, yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat dan Telkom, sebab dalam revisi kedua PP itu semua operator diwajibkan network dan spectrum sharing.

“Revisi kedua PP itu, hasil konspirasi jahat oknum pejabat Kemenkominfo dengan dua operator, dimana di balik itu semua ada kepentingan calon investor dua operator tersebut dari China,” tegasnya.

Yaitu dengan prasyarat, China Telecom akan membeli saham kedua operator tersebut. Karena sudah tidak terdapat kewajiban untuk membangun infrastruktur terutama di luar Pulau Jawa yang tentu membutuhkan investasi besar serta penurunan tarif interkoneksi antar operator.

Menurtnya, melalui revisi kedua PP itu diduga adanya aliran dana ratusan miliar untuk mengubah pasal-pasal dan ayat-ayat kepada oknum pejabat Kemenominfo dan Kemenko Perekonomian dengan alasan akan lebih banyak lagi investor asing yang akan berinvestasi di sektor telekomunikasi.

“Karena bagi investor, kedua PP itu yang saat ini masih berlaku dianggap menghambat dengan adanya kewajiban untuk membangun jaringan di seluruh Indonesia,” jelasnya.

Terkait adanya dugaan gratifikasi itu, KASPI bulan lalu sudah melaporkan sejumlah oknum pejabat Kemenkominfo dan Kemenko Perekonomian, serta Menteri Kominfo Rudiantara ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait revisi kedua PP itu.

“Besok kami akan ke KPK lagi untuk menyampaikan data-data tambahan yang akan menguatkan adanya dugaan aliran dana ratusan miliar dari perusahaan asing untuk merevisi kedua PP itu, serta memberikan nama-nama oknum pejabat yang diduga menerima gratifikasi dalam kasus ini,” pungkasnya.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka