Jakarta, Aktual.com – Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor sektor konsumsi melonjak 58,21%. Kenaikan tertinggi pada impor buah-buahan serta gula dan permen. Sementara, Impor barang modal naik 18,8% didorong oleh kenaikan impor telepon seluler dan notebook. Sementara impor bahan baku dan penolong naik 13,31% dibanding Februari 2017. Bila dihitung secara total, impor selama kuartal I-2017 tercatat US$ 36,68 miliar, naik 14,83% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pengamat ekonomi Bhima Yudistira mengemukakan, dengan tren kenaikan impor yang makin besar, menandakan industri di dalam negeri, belum mampu menjadi substitusi impor. Padahal, saat ini, tren konsumsi kian membesar ditopang konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang mencapai 50%.
“Dengan lonjakan konsumsi, artinya butuh barang yang makin banyak. Kalau industri dalam negerinya tidak bisa memenuhi itu, tentu impor makin besar. Atau bisa juga, impor makin besar ini bukan juga karena industri tidak bisa memenuhi, tapi harga di dalam negeri tidak kompetitif, sehingga membuka keran impor besar-besaran,” ujar Bhima di Jakarta, Selasa (2/5).
Jika didetailkan lagi, lanjutnya, impor konsumsi yang makin melonjak yakni barang elektronik yang naik signifikan dan impor makanan jadi dari China naik sampai 40 persen. Semua produk itu ada di kategori barang konsumsi.
“Bahkan es krim pun diimpor, ini sudah keterlaluan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jika impor yang selalu dihadulukan, sementara kelas menengah kian membesar dengan konsumsi yang makin besar, tentu saja ada banyak dampak negatif. Daya saing rendah, dan jika ketergantungan, jika menyebabkan inflasi tinggi.
Belum lagi, saat ini, ada tren struktur perekonomian mulai bergeser dari sektor industri ke industri ke perdagangan. Ini sudah terlihat dari hasil survei Susenas BPS di 2017 tercatat 12,3 juta orang bergerak di bidang usaha perdagangan dan eceran.
“Sehingga sektor industri pengolahan tidak lagi diminati,lebih berpikir lebih baik menjadi importir barang jadi,” ucap Bhima.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka