Padahal, industri pengolahan penyerap sektor tenaga kerja, ada transfer teknologi juga, sekaligus salah satu sektor industri strategis. Ironisnya, sekarang porsi industri pengolahan terus turun kontribusinya di bawah 20 persen terhadap PDB nasional.
“Ini ada pergeseran yang kurang bagus, di struktur ekonomi. Akibatnya kalau jadi konsumen barang impor maka dari sisi kedaultan ekomomi bahaya juga. Ketika suatu saat sudah tergantung, kemudian harga barangnya naik, secara global, nilai tukar rupiah rendah, maka akan ada pukulan besar terhadap inflasi,” tandas Bhima.
Dampak bahaya lain, akan ada pukulan daya beli masyararakat. Bahkan, nanti ketika digaungkan bonus demografi di 2030, sementara industri pengolahannya semakin lesu digempur barang impor otomatis penyerapan tenaga kerja akan menurun.
Sekarang saja, satu persen petumbuhan ekonomi hanya menciptakan 110 ribu tenaga kerja baru. Dulu, satu persen pertumbuhan ekonomi menciptakan 500 ribu tenaga kerja. Artinya dengan lima persen pertumbuhan ekonomi hari ini hanya sekitar 550 ribu orang tenaga kerja baru.
Indonesia, kata Bhima, berpotensi menjadi negara stres, akibat terlalu cepat industrialisasi. Di negara lain memang terjadi juga deisdustriliasasi, seperti di Korea Selatan, sektor industri juga bergeser.
Tapi korea sudah menjadi high income country alias negara berpenghasilan tinggi, sementara Indonesia terkena jebakan kelas menengah, industrinya mulai turun terlalu cepat. Di di triwulan ke empat 2016, pertumuhan ekonomi memang 5 persen, tapi pertumbuhan industri pengolahannya hanya 1,3 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk itu, pemerintah harus dipaksa menciptakan industri substitusi impor. Mempercepat hilirsasi. Bukan hanya ekspor barang baku mentah.
Pemerintah memang mengeluarkan 15 paket kebijakan ekonomi. Namun, sampai sekarang tidak berpengaruh. Industri pengolahan tetap lesu bahkan industri tekstil negatif. Artinya. Kalau dilihat dari situ paket kebijakan harus dievaluasi kembali.
“Jangan-jangan serbuan impor juga kesalahan pemerintah, karena harga produk di dalam negeri tinggi. karena faktor penunjang produksi misalkan energi, seperti gas masih mahal,” ucap Bhima.
Hal lain yang harus diperhatikan, pemerintah harus menciptakan hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan konsisten menerapkannya. Jangan hanya karena lobi politik, seperti kedatangan Wakil Presiden Amerika Serikat, kebijakan ekspor mentah menjadi longgar.
“Negara boleh gak menerapkan non tarif barrier, harusnya itu sah dan legal. Di Indonesia kalau tidak salah ada 270 hambatan non tarifnya. Amerika Serikat yang disebut negara bebas tanpa hambatan, justru hambatan tarif bisa 2000-4000 lipat, China bisa sampai 4000 hambatan non tarifnya, artinya kenapa pemerintah tidak membuat hambatan non tarif, agar industri di dalam makin bagus, mampu bertahan dari serbuan impor,” tegas Bhima.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka