Jakarta, Aktual.com – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) meminta transparansi pengusutan dugaan kriminalisasi petani anggota Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA-M) di Kampar, Riau, yang dijadikan tersangka akibat menjual hasil kebunnya sendiri.

“Terdengar janggal? Sedih, namun begitu faktanya. Kita tidak boleh menutup mata atas sejumlah konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan yang beberapa di antaranya dikelola BUMN, seperti PTPN dan Perhutani,” kata Intan Bedisa dari INFID dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad (10/10).

Intan mengatakan kedua petani anggota KOPSA-M di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, dalam upaya mencari peradilan telah membuat Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri BUMN Erick Thohir, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung St Burhanuddin.

Kedua petani dilaporkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V, tempat mereka sehari-hari bekerja.

Dalam surat terbuka yang diterima INFID pada 7 Oktober 2021, kata Intan, KOPSA M menceritakan perjuangannya saat ini untuk pengembalian lahan kebun yang telah beralih kepemilikan kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui proses yang diduga melawan hukum.

Surat tersebut, lanjut Intan, mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 750 hektare kebun KOPSA M yang telah beralih kepemilikan. Selain itu, KOPSA M juga menanggung beban utang sebanyak lebih kurang Rp150 miliar akibat pembangunan kebun gagal yang dilakukan oleh oknum-oknum PTPN V di masa lalu, tepatnya pada 2003-2006.

“Tidak jarang konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan terjadi karena ketidakjelasan batas dan hak kepemilikan lahan. Konflik lahan ini memicu permasalahan lainnya, yaitu ketimpangan kesejahteraan,” ungkapnya.

INFID menyerukan dan mendesak Pemerintah Pusat untuk memberi perhatian dan melakukan investigasi mendalam kepada proses hukum yang tengah bergulir terhadap dua orang petani sawit di Kampar, Riau, yang dijadikan tersangka akibat menjual hasil kebunnya sendiri.

Menurut dia, masyarakat sekitar mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di lokasi usaha perusahaan. Kegiatan ini justru disikapi oleh perusahaan sebagai perbuatan melanggar hukum dan diproses melalui mekanisme pidana.

“Kegiatan usaha PTPN dan Perhutani juga sangat mungkin berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar,” tutur Intan.

Ia mencontohkan kasus tanah longsor di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat, yang menelan 21 korban jiwa pada 28 Januari 2003. Kasus ini harus dan perlu diproses berkeadilan sejalan dengan kebijakan HAM Indonesia.

Hal ini merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021-2025. Pada RANHAM generasi V ini, pemerintah fokus pada perlindungan dan penghormatan HAM terhadap kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat.

Bahkan, kata Intan, pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas Nasional dan Gugus Tugas Daerah yang tugasnya meliputi pengawasan penegakan HAM hingga level daerah.

“Artinya, kasus dugaan kriminalisasi para petani dan konflik lahan di Kampar, Riau, ini wajib dikawal ketat untuk menunjukkan bahwa RANHAM bukan jargon politik semata,” ucap dia menegaskan.

Sebagai negara yang turut menyetujui implementasi The United Nations Guiding Principles (UNGPs) mengenai HAM dan Bisnis tahun 2011, lanjut Intan, Indonesia harus merujuk tiga pilar dalam UNGPs untuk menegakan HAM dalam bisnis. Pilar pertama adalah kewajiban negara untuk melindungi. Kedua, pilar tanggung jawab korporasi menghormati HAM.

“Dalam aspek ini, upaya untuk membangun komitmen dan tanggung jawab korporasi sudah mulai dibangun. Terakhir, pilar pemulihan yang efektif bagi kelompok yang terkena dampak negatif dari kegiatan usaha,” paparnya.

Perlu diingat, lanjut Intan, lemahnya akuntabilitas dan transparansi pengusutan dugaan kasus kriminalisasi petani oleh korporasi ini akan mencerminkan efektifitas penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

“Jika kasus pelanggaran HAM masa lalu belum bisa terpecahkan, setidaknya negara jangan menambah dosa pelanggaran HAM dengan mengabaikan akuntabilitas penegakan HAM dalam bisnis sesuai dengan kaidah-kaidah UNGPs dan RANHAM,” tukas Intan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid