Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin (kedua kanan), Ketua DPD Irman Gusman (kedua kiri) memasuki area pembukaaan Munas MUI ke-9 di Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (25/8). Acara yang mengangkat tema Islam Wasathiyyah untuk dunia yang berkeadilan dan berkeadaban tersebut akan berlangsung hingga 27 Agustus 2015. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/aww/15.

Jakarta, Aktual.com — Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter mendesak agar revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibatalkan karena berpotensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

“ICW meminta agar seluruh fraksi di DPR untuk membatalkan rencana pembahasan revisi Undang-Undang KPK di DPR,” kata Lalola Easter dihubungi di Jakarta, Rabu (7/10).

Selain itu, Lola mengatakan ICW juga meminta agar pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo mengambil sikap dengan menolak membahas revisi Undang-Undang KPK bersama DPR.

“Bila pemerintah bersedia membahas revisi Undang-Undang KPK akan bertentangan dengan Agenda Nawa Cita Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK,” tuturnya.

Selain itu, ICW juga meminta agar para pimpinan KPK bersikap dengan mengirimkan surat resmi kepada DPR yang menyatakan keberatan terhadap rencana pembahasan revisi UU KPK, terutama atas substansi yang berpotensi melemahkan KPK.

Menurut Lola, sedikitnya ada 15 hal penting dalam naskah Rancangan Undang-Undang KPK di DPR yang berpotensi melemahkan KPK. Salah satu hal krusial itu adalah KPK dibatasi hanya sampai 12 tahun sejak RUU tersebut disahkan sebagai undang-undang sebagaimana tercantum pada Pasal 5 dan Pasal 73.

Upaya pelemahan KPK juga terlihat pada Pasal 53, yaitu KPK tidak lagi memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan. Selain itu, KPK juga akan kehilangan tugas dan kewenangan dalam melakukan monitoring.

Pada naskah RUU tersebut juga disebutkan bahwa KPK hanya bisa menangani perkara korupsi bila ada kerugian negara di atas Rp50 miliar. KPK juga lebih diarahkan kepada tugas pencegahan korupsi daripada penindakan.

Bila pada Pasal 16 Undang-Undang KPK yang saat ini berlaku, KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah, naskah RUU KPK menghilangkan kewenangan tersebut.

Selain itu, masih ada beberapa hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK seperti harus mendapatkan izin ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan, dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, serta tidak bisa merekrut pegawai secara mandiri.

Kemudian, KPK juga diwajibkan melapor ke kejaksaan dan polisi ketika menangani kasus, tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri, serta adanya dewan kehormatan dan dewan eksekutif.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby