Jakarta, Aktual.com – Data pangan yang dimiliki pemerintah, dianggap masih buruk, sehingga berdampak pada lahirnya kebijakan yang tidak tepat sasaran. Bahkan cenderung ngaco.

“Data pangan yang ada masih ngaco. Dngan begitu, kebijakannya juga jadi ngaco. Mestinya pemerintan harus benahi data pangan, jika mau swasembada pangan,” kata Anggota Komisi Pertanian dan Kehutanan DPR, Daniel Johan kepada Aktual.com di Jakarta, Senin (8/2).

Contoh yang nyata terkait impor pangan yang kebijakannya kerap ngaco, seperti impor pangan tidak berbasis data. Sehingga rakyatlah yang dirugikan.

Dikatakan Daniel Johan, jangan sampai ada kebijakan impor banyak, tapi stok pangannya ternyata banyak. Atau sebaliknya, impor dibatasi tapi stoknya sedang tidak ada.

“Sehingga timbul masalah dua kali. Satu sisi, petani tidak terlindungi, dan di sisi lain masyarakat sebagai konsumen pangan juga dirugikan karena harga tinggi akibat stoknya kurang,” tandas dia.

Contoh nyatanya terkait impor sapi. Tapi ketika dibatasi, justru implikasinya bisa buruk sekali. Dengan stok sapi yang kurang, maka target swasembada sapi menjadi kian panjang. Yang semula dapat dicapai dalam 20 tahun ke depan, kini bisa sampai 30 tahun.

“Kenapa? Karena pada saat daging sapi langka, maka sapi-sapi indukan malah dipotong. Mestinya kalau mau swasembada sapi, harus dipastikan sapi-sapi itu terjaga dengan baik. Itu bukti basis data di pangan sangat buruk,” kecamnya.

Dirinya sangat mendukung lahirnya ketahanan pangan di Indonesia untuk menciptakan kemandirian pangan. Untuk itu, pemerintah jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang ngaco lagi.

“Untuk menuju kemandirian pangan itu, kita harus lihat kapasitas kita. Jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang dua-duanya tak tercapai, petani tak sejahtera, stok pangan juga langka,” pungkas Daniel.

Artikel ini ditulis oleh: