Jakarta, Aktual.com — Mulai 19 Agustus 2016 nanti, suku bunga acuan Bank Indonesia akan menggunakan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate. Langkah BI ini ditempuh agar kebijakan moneter ini lebih efektif. Sehingga dampak ke suku bunga simpanan dan pinjaman akan semakin cepat.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, yang dilakukan BI adalah memperkuat kerangka operasi moneter (OM), bukan mengubah sikap (stance) kebijakan. Apalagi ingin menurunkan bunga secara drastis.
“BI hanya melakukan penguatan OM dengan memperkenalkan suku bunga acuan baru, yaitu BI 7-Day (Reverse) Repo Rate, menggantikan BI Rate,” jelas Mirza di Gedung BI, Jakarta, Jumat (15/4).
Namun ia kembali memastikan, yang dilakukan BI itu tidak mengubah tingkat suku bunga kebijakan melainkan mengubah tenor suku bunga kebijakan, dari BI Rate yang bertenor 360 hari, yang saat ini sebesar 6,75% menjadi tenor tujuh hari yang saat ini sebesar 5,50%.
“Perubahan tersebut ditujukan untuk memperkuat efektifitas kebijakan moneter,” sebut Mirza.
Dengan kebijakan baru itu nantinya, setiap ada perubahan tingkat suku bunga kebijakan, baik kenaikan maupun penurunan, dampaknya terhadap suku bunga pasar uang dan perbankan, baik deposito maupun kredit, akan menjadi semakin cepat.
Menurut Mirza, kurang berdampaknya suku bunga BI Rate bisa dilihat ketika kondisi di tahun 2010-2012. Saat itu, dengan derasnya aliran masuk modal asing sejak krisis 2010-2012 membuat perbedaan yang besar antara suku bunga BI Rate dengan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB), khususnya sejak medio 2010.
Besarnya ekses likuiditas di PUAB dari derasnya aliran masuk modal asing tersebut, menyebabkan suku bunga PUAB tenor jangka pendek menjadi sangat rendah mendekati suku bunga deposit facility (DF). Angka itu jauh di bawah suku bunga BI Rate yang konsisten dengan pencapain sasaran inflasi.
Sementara itu, Mirza melanjutkan, belum berkembangnya PUAB juga menyebabkan belum terbentuknya struktur suku bunga di PUAB, terutama untuk tenor di atas 3-12 bulan.
Dengan kondisi itu, sebut Mirza, transmisi kebijakan moneter menjadi kurang efektif dalam memengaruhi suku bunga di pasar uang.
“Makanya BI ingin mendekatkan suku bunga kebijakan ke arah tenor yang diacu pasar uang, yaitu tenor yang lebih pendek,” ungkap dia.
Sejalan dengan itu, BI akan mempercepat pelaksanaan program pendalaman pasar keuangan. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain mencakup, pertama, memperkuat peran suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) bagi terbentuknya struktur suku bunga di pasar uang untuk tenor dari overnight sampai dengan 12 bulan.
Kedua, mempercepat transaksi Repo dengan mendorong bank-bank berpartisipasi ke dalam General Master Repo Agreement (GMRA). Dan ketiga, mengurangi segmentasi dan meningkatkan kapasitas transaksi pasar dengan mendorong perbankan untuk lebih membuka akses counter party.
Dia mencontohkan kondisi suku bunga OM pada Desember ketika BI berada di posisi 7,5%. Saat itu, suku bunga OM satu minggu sebesar 6,25%, dua pekan 6,30%, satu bulan 6,40%, tiga bulan 6,85%, enam bulan 6,95%, dan 12 bulan atau setahun sebesar 7,15%.
“Jadi posisinya BI Rate yang 7,5% di atas suku bunga OM. Tapi kemudian Januari kurvanya turun lagi, karena BI Rate turun. Baru kemudian di Maret, suku bunga OM sama dengan BI Rate yang sebesar 6,75%,” papar dia.
Dia menegaskan, dengan perubahan suku bunga acuan ini sudah sesuai dengan yang terjadi di kondisi dunia internasional (best practice). Negara seperti, Malaysia, Thailand, Selandia Baru, Korea Selatan dan Filipina, bank sentralnya sudah melakukan penguatan OM ini dengan suku bunga acuan baru.
“Sehingga ke depan, policy rate ini harus mencerminkan kondisi suku bunga di pasar uang yang tenornya jangka pendek,” pungkas Mirza.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan