Jakarta, Aktual.com — Ustadzah Nur Hasanah menjelaskan kepada Aktual.com, Kamis (25/02), di Jakarta, apabila seorang Mukmin ditimpa suatu penyakit, baik penyakit itu menimpa diri sendiri, keluarga, maupun orang lain, termasuk apabila hendak mengobati atau meruqyah orang lain, maka hendaklah melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, berdoa kepada Allah SWT agar memberikan kesembuhan, kesembuhan yang tidak menyisakan sedikit pun penyakit, serta menyempurnakan kesehatan kita selamanya.
Kedua, hendaklah berprasangka baik kepada Allah SWT. Luruskan akidah dengan menyadari bahwa ujian yang menimpa ini datang dari Allah yang Maha Pengasih, yang mengasihi melebihi kasih sayang ibu, bahkan melebihi kasih sayang manusia kepada diri sendiri.
Allah SWT Maha Suci, Dialah yang menguji manusia, dan ujian itu merupakan kasih sayang-Nya kepada hambanya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak menguji hamba-Nya yang beriman, menyangkut dirinya, hartanya, atau anaknya, kecuali untuk salah satu dari dua tujuan, yakni mungkin mempunyai dosa yang tidak bisa diampunkan kecuali dengan ujian ini atau ia akan memperoleh derajat di sisi Allah yang tidak bisa dicapainya kecuali dengan ujian ini.
Prasangka baik kepada Allah berarti menyadari bahwa musibah yang menimpa itu merupakan kebaikan bagi manusia itu sendiri, dan itu pasti, akan tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya. Allah SWT berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah : 216)
Ketiga, tidak disibukkan dengan ujian dan cobaan itu, sehingga melupakan “yang memberi ujian dan cobaan”, yaitu Allah SWT.
Banyak orang sakit yang sibuk dengan ujian yang dihadapinya, semua pemikiran mereka terfokus pada mencari dokter, pergi ke laboratorium, melakukan terapi radiologi, dan berbagai terapi modern lainnya, dan seterusnya, tetapi lupa kepada Tuhannya.
Padahal sepatutnya, manusia justru lebih dekat kepada Rabbnya pada saat sakit. Akan lebih bermanfaat dan lebih memberikan harapan jika pada saat sakit ia mengadu sepenuh hati kepada Rabbnya sambil berusaha mencari obat. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman kepada seorang hamba pada hari kiamat, “Hamba-Ku, Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku!” Si hamba berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau Rabb semesta alam?’ Allah berfirman, ‘Tidak tahukah engkau, bahwa hamba-Ku si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya. Tidakkah engkau tahu, jika engkau menjenguknya, niscaya engkau mendapati-Ku di sisinya?”
Keempat, para Ulama mengatakan bahwa dalam hadis tersebut terdapat petunjuk mengenai kedekatan Allah SWT kepada orang-orang yang hatinya sudah patah harapan kepada selain Allah SWT. Kedekatan yang tentu saja selaras dengan keagungan dan kemaha sempurnaan-Nya, “Tiada sesuatu yang seperti-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kelima, sepatutnya, berpikir tentang hikmah Ilahi dari musibah yang menimpa itu. Allah Maha Bijaksana, ketetapan dan takdir-Nya tidak lepas dari hikmah itu.
Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Sa’id, dari ayahnya, ia berkata, Suatu ketika saya bersama Salman menjenguk seorang yang sakit di Kindah. Ketika datang kepadanya, ia berkata, “Bergembiralah, karena sesungguhnya sakit orang mukmin itu oleh Allah dijadikan sebagai kafarat (penebus) dan penghapus dosa. Sedangkan sakit orang pendosa itu seperti unta yang diikat oleh pemiliknya, kemudian dilepaskan oleh mereka, ia tidak tahu mengapa diikat dan mengapa kemudian dilepaskan? Ketika Ibnu Sirin dilanda kesedihan, ia berkata, “ Aku tahu penyebab kesedihan ini, yakni sebuah dosa yang kulakukan empat puluh tahun yang lalu.” Ahmad bin Abi Hawari berkata, “Dosa-dosa orang-orang di masa itu sedikit, sehingga mereka tahu dosa manakah yang menjadi penyebab, akan tetapi dosa-dosa kita banyak sekali, sehingga kita tidak tahu, dosa manakah yang menyebabkan musibah kita.”
“Kita harus mencari tahu, dosa manakah yang menyebabkan musibah datang kepada kita. Semoga dengan taubat dan kesungguhan kita kembali kepada Allah SWT, Allah SWT menghapuskan bencana itu,” kata Ustadzah Hasanah menambahkan.
Keenam, meyakini bahwa berobat merupakan satu sebab. Pengobatan adalah satu sebab, operasi adalah satu sebab, obat adalah satu sebab, semua itu semata-mata sebab. Sedangkan suatu sebab tidak bisa memberikan efek apapun kecuali dengan izin Allah SWT. Rasulullah SWT bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat mengenai penyakit, maka ia akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim).
“Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada penangkalnya, penangkal itu ada yang diketahui dan ada pula yang tidak mengetahuinya.” (HR. Al Hakim).
Nabi menyebutkan sebab-sebab datangnya kesembuhan, yakni pertama, mempunyai pengetahuan tentang sebab penyakit dan pengobatannya, dan kedua, yang benar mengenai permasalahan ini adalah hendaklah ia mengetahui benar penyakitnya (dengan benar dan dengan diagnosa yang akurat), dan resep yang diberikan hendaklah tepat. Dan syarat terakhir dan terpenting adalah adanya izin dari Allah SWT untuk diperolehnya kesembuhan. Karena itu, salah satu doa Rasulullah SAW adalah: “Ya Allah, Engkau adalah Asy-Syafi (Maha Menyembuhkan), tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu.”
Ketujuh, Muslim harus yakin bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah SWT, bukan dokter atau obat. Penyembuh itu Allah SWT, karena itu hendaklah hati kita tergantung kepada Allah SWT saja, bukan kepada sebab-sebab kesembuhan. Ketergantungan hati kepada sebab-sebab merupakan kesyirikan.
Dalam satu hadis diriwayatkan,
وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ، ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيتًا – الخِرِّيتُ: المَاهِرُ بِالهِدَايَةِ – قَدْ غَمَسَ يَمِينَ حِلْفٍ فِي آلِ العَاصِ بْنِ وَائِلٍ، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ، فَأَمِنَاهُ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا، وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، فَأَتَاهُمَا بِرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيحَةَ لَيَالٍ ثَلاَثٍ، فَارْتَحَلاَ وَانْطَلَقَ مَعَهُمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ، وَالدَّلِيلُ الدِّيلِيُّ، فَأَخَذَ بِهِمْ أَسْفَلَ مَكَّةَ وَهُوَ طَرِيقُ السَّاحِلِ
Artinya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar menyewa seorang dari suku Ad-Dil kemudian dari suku ‘Abdi bin ‘Adiy sebagai petunjuk jalan dan yang mahir menguasai seluk beluk perjalanan yang sebelumnya dia telah diambil sumpahnya pada keluarga Al ‘Ash bin Wa’il dan masih memeluk agama kafir Quraisy. Maka keduanya mempercayakan kepadanya perjalanan keduanya lalu keduanya meminta kepadanya untuk singgah di gua Tsur setelah perjalanan tiga malam. Lalu orang itu meneruskan perjalanan keduanya waktu shubuh malam ketiga, maka keduanya melanjutkan perjalanan dan berangkat pula bersama keduanya ‘Amir bin Fuhairah dan petunjuk jalan suku Ad-Diliy tersebut. Maka petunjuk jalan tersebut mengambil jalan dari belakang kota Makkah yaitu menyusuri jalan laut ” ( Shahih Bukhari)
“Hadis di atas terdapat pada kitab Shahih Bukhari dalam bab menyewa orang-orang musyrik dalam keadaan darurat (terpaksa) atau ketika tidak terdapat orang-orang Islam (Babu isti’jaril musyrikin indadh-dhoruroti au adami ahlil islam). Dari hadis inilah ulama’ menyimpulkan hukum kebolehannya berobat kepada non muslim.”
Syeh Ibnu Muflih dalam kitab “Al Adab Asy-Syar’iyyah” menjelaskan bahwa jika ada orang yahudi atau nasrani yang pandai dalam bidang pengobatan dan bisa dipercara oleh masyarakat, diperbolehkan mengeluarkan biaya untuk berobat pada orang tersebut begitu juga diperbolehkan mempercayai apa yang dikatakannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan jika memang tidak diragukan kebenarannya. Namun, tidak diperkenankan berobat pada non Muslim selama masih ada orang Islam yang mampu melakukan pengobatan tersebut.
Syekh Ibnu Hajar Al Haitami saat ditanya tentang hukumnya berobat kepada orang kafir, beliau menjawab, ” Diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk berobat kepada orang kafir, meskipun itu kafir harbi (orang kafir yang memerangi orang islam), seperti diperbolehkannya bersedekah kepada orang kafir, namun kebolehan berobat kepada non muslim tersebut jika memang tak ada orang islam yang yang mampu menggantikan posisinya, bisa dipercaya dan tidak dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya.
“Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa berobat pada non muslim itu diperbolehkan dengan sarat tidak adanya orang Islam yang mampu menggantikan posisinya, yang bisa melakukan pengobatan seperti dokter non muslim tersebut,” katanya lagi menutup pembicaraan.
(Sumber: Al Adab Asy-Syar’iyyah Wal Minah Al Mar’iyyah, Juz : 2; Al Fatawi Al Fiqhiyah Al Kubro Li Ibnu Hajar, Juz : 4; Al Muhadzdzab, Juz : 1; Al Majmu’, Juz : 1; Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan).
Artikel ini ditulis oleh: