Jakarta, Aktual.co — Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitri mengatakan sejak disahkan oleh DPR dan Pemerintah pada 2 Juli 2013, KKB terdiri atas gabungan sejumlah organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia, telah melakukan pemantauan terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) secara intensif.
Dari hasil pemantauan tersebut kata Fransisca, KKB menyimpulkan bahwa antara tujuan pembentukan UU Ormas dengan dampak yang ditimbulkan sangat bertolak belakang.
“Kehendak awal dari penyusunan UU Ormas, sebagaimana yang termuat dalam Naskah Akademik (R) UU Ormas atau materi pembahasan selama Rapat Kerja Gabungan 30 Agustus 2010, yaitu untuk menindak organisasi yang memiliki massa dan melakukan kekerasan (dalam bentuk demonstrasi dengan kekerasan, sweeping, dan lain-lain) dan mewujudkan tata kelola ormas agar lebih transparan dan akuntabel,” kata Fransiska di Jakarta, Rabu (17/12).
Namun, Fransisca menegaskan pemantauan yang dilakukan KKB selama satu tahun lebih justru membuktikan bahwa UU Ormas telah menampakkan watak sesungguhnya, yaitu belenggu hingga ancaman terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul, bukan mengarah pada kedua alasan tersebut.
Fransisca mengatakan implementasi UU Ormas cukup masif di berbagai daerah, hal ini nampak dari pemantauan KKB yang bersumber dari media, testimoni atau kesaksian, dan produk kebijakan.
“Dari hasil pemantauan, setidaknya terdapat dua pola temuan, yaitu pertama, kewajiban registrasi organisasi pada kantor Kesbangpolinmas (Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat) di daerah, salah satunya muncul pada wilayah pemantauan di Lombok Tengah pada Agustus dan September 2013, dan kedua, pemberlakuan syarat memiliki struktur pengurus atau organisasi di minimal 25% provinsi untuk diakui sebagai ormas nasional yang berasal dari testimoni mitra KKB yaitu Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil/ASPPUK dan Majelis Adat Budaya Tionghoa/MABT Pontianak,” sambung Fransisca.
Sehingga tambah Fransisca, perlu ada respon segera terhadap pemberlakuan UU Ormas khususnya yang berakibat terhadap makin tergerusnya ruang kebebasan berserikat dan berkumpul. “Berbagai penyebab mulai dari tafsir berlebihan yang menimbulkan ancaman dampak, seperti dicabutnya ijin, dibubarkan, dicap ilegal atau liar, akses pada dana Pemerintah ditutup, tidak diakui, atau tidak dilayani hingga kerancuan kerangka hukum tentang pendaftaran bagi organisasi masyarakat sipil, ” kata dia.
Tidak tertutup kemungkinan sambung Fransisca beberapa daerah melahirkan peraturan turunan seperti perda, surat edaran kepala daerah yang hanya melanjutkan bentuk kerancuan UU Ormas.
Lebih lanjut dia mengatakan berdasarkan temuan dan hasil pemantauan di atas, yang dilengkapi dengan sejumlah kajian dan verifikasi, KKB mendesak agar, Pertama Mahkamah Konstitusi (MK) harus segera mengeluarkan putusan Judicial Review UU Ormas yang diajukan oleh PP Muhammadiyah dan KKB, agar dampak dan kerugian konstitusionalnya tidak semakin meluas dan masif.
Sebelumnya kata Fransisca di salah satu media cetak nasional, Ketua MK pernah berjanji bahwa MK akan mengeluarkan putusan Judicial Review UU Ormas sebelum 2014 berakhir. Namun pada laman situs MK, jadwal sidang terakhir pada 23 Desember 2014 dan tidak ditemukan sama sekali agenda pembacaan putusan Judicial Review UU Ormas.
“Kedua, Pemerintah dan DPR memasukkan RUU Perkumpulan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan sebagai prioritas 2015; dan Terakhir Mendesak Pemerintah Jokowi-JK untuk segera meninjau ulang dan menghapus seluruh kebijakan yang berpotensi melanggar HAM sesuai dengan yang termuat di dalam visi misinya termasuk salah satunya UU Ormas. Dengan demikian, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU Ormas yang disiapkan oleh Pemerintah sebelumnya menjadi tidak relevan untuk disahkan,” tegas Fransisca.
Laporan: Deddy
Artikel ini ditulis oleh:















