Jakarta, Aktual.com – Peresmian SPBU Vivo, berlokasi di Cilangkap Jakarta Timur, sempat menimbulkan heboh bagi publik. Namun berdasarkan pengamatan Ekonomi UGM yang juga Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi setidaknya ada tiga hal yang menjadi perhatian bagi dirinya
Pertama, apakah masuknya Vivo yang menjual jenis BBM Research Octane Number (RON) tidak melanggar aturan? Kedua, mengapa harus Menteri Energi Sumber Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang harus meresmikan SPBU Vivo, yang seolah berperan sebagai marketing officer PT Vivo. Ketiga, mengapa harga RON89 Vivo bisa lebih murah daripada harga RON88 Pertamina?
Menyikapi hal ini, Fahmy sendiri meminta agar pemerintah juga memberi penugasan program BBM Satu Harga kepada PT Vivo. Saran ini supaya memenuhi azas keadilan kepada PT Pertamina yang dibebankan BBM penugasan sejenis Ron 89, yakni Ron 88 produk Pertamina.
Lalu terkait peresmian SPBU oleh Menteri ESDM, Jonan yang dikatakan karena dirinya ‘kepincut’ dengan harga jual RON 89 sebesar Rp. 6.100 per liter oleh Vivo, atau lebih murah dibanding harga RON 88 produk Pertamina. Hingga dengan alasan ini pula pemerintah memberikan izin bagi Vivo, perihal ini perlu mendapat pembuktian dan pengujian dari pemerintah terhadap Vivo. Karena banyak kalanyang beranggapan bahwa murahnya harga jual Ron 89 oleh Vivo hanya sebatas strategi pemasaran. Lagi pula, penjualan itu dilakukan ditempatkan yang padat penduduk (gemuk)
“Harga Ron 89 lebih murah masih disangsikan karena bisa jadi faktor penjualan di tempat gemuk. Ada juga yang mencurigai karena manipulasi dalam menetapan komposisi komponen blending antara RON 92 dengan light naptha,” kata dia.
Untuk menepis spekulasi tersebut ujar Fahmy, pemerintah perlu menguji PT Vivo dengan penugasan pembangunan SPBU di wilayah terpencil dan terluar.
“Kalau PT Vivo membangun SPBU ditempat terpencil, terdepan dan terluar serta mampu menjual RON 89 dengan harga yang sama Rp. 6.100 per liter, maka PT Vivo terbukti memang menjual RON 89 lebih murah, bukan harga yang dimanipulasi,” tuturnya.
Sebaliknya pembuktian Vivo ini diperkirakan membuat PT Pertamina ‘berkeringat dingin’, pasalnya dengan begitu bisnis Pertamina akan diketahui tidak efisien.
“Kalau terbukti PT Vivo bisa menjual RON89 sebesar Rp. 6.100 per liter lebih murah ketimbang harga RON88 mengindikasikan bahwa harga RON88 sebesar Rp. 6.450 yang selama ini dibeli konsumen dinilai kemahalan. Kalau RON89 diasumsikan setara dengan RON88 secara apple to apple, paling tidak kemahalan yang ditanggung rakyat sebagai konsumen adalah sebesar Rp. 350 per liter,” ujar Fahmy.
Lebih lanjut dia mengasumsi bahwa konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari, 1 barel setara 159 liter, total kemahalan yang harus ditanggung rakyat sebesar Rp. 96,8 miliar per hari (1.740.000 barel X 159 liter X Rp. 350). Kalau satu tahun 365 hari, maka total kemahalan harga RON88 adalah sebesar Rp. 33,34 triliun per tahun (Rp. 96,8 X 365 hari).
“Kalau benar perhitungan itu, maka kemahalan harga yang ditanggung rakyat sebesar Rp. 33,34 triliun per tahun itu sesungguhnya merupakan tambahan margin yang dinikmati oleh Pertamina. Dengan tambahan margin sebesar itu, Pertamina tidak seharusnya mengeluh hanya karena menanggung biaya penerapan Kebijakan BBM satu harga sebesar Rp. 800 miliar per tahun, hanya sekitar 2,6% saja. Pertamina juga tidak seharusnya berkeluh kesah lantaran Pemerintah memutuskan harga RON88 tidak dinaikan hingga akhir tahun 2017, dengan pertimbangan menjaga daya beli rakyat sebagai kosumen,” tegas dia.
Sementara diperkirakan harga sesungguhnya Ron 88 Rp 5.756,60. Dalam formula penentuan harga, terdapat komponen (1) harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS, jumlah barrel per liter. (2) Margin Pertamina dan SPBU, serta biaya penugasan, biaya penyediaan, biaya distribusi, biaya penyimpanan ditetapkan sebsar 20%. (3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari Harga Dasar (HD), dan (4) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5%.
Dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$ 50 per barel, kurs rupiah sebesar Rp. 13.560 per dolar AS, 1 berel setara 159 litter, maka HD sebsar 4.264,15 per liter [(US$ 50/159 liter) X Rp. 13.560 = Rp. 4.264,15]. HD ditambah Margin dan Biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran dihitung RON88 sebenarnya sebesar Rp. 5.756,60 per liter (4.264,15+852,83+426,42+213,21=5.756,60).
Dengan demikian; Kalau Pemerintah menetapkan harga jual RON88 sebesar Rp. 6.450 per liter, berarti ada kemahalan harga yang ditanggung rakyat sebesar Rp. 693,40. Kalau asumsi harga minyak dunia dinaikkan menjadi US$ 55 per barrel, dengan perhitungan yang sama, kemahalan harga RON88 ditanggung rakyat sebesar Rp. 117,74 per liter.
Kalau total konsumsi konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari, total kemahalan, yang ditanggung rakyat, dengan asumsi Minyak Dunia US$ 50 per barel, sebesar Rp. 70,01 triliun per tahun. Sedangkan dengan asumsi harga minyak dunia US$ 55 per barel, total kemahalan harga RON88 sebesar Rp. 11,89 triliun.
“Dengan besaran kemahalan harga RON88, wajar kalau Menteri ESDM kepincut untuk meresmikan beroperasinya SPBU Cilangkap, yang bisa menjual RON89 seharga Rp. 6.100 per litter, yang tentunya PT Vivo sudah memperoleh margin dari harga jual tersebut. Penetapan harga RON89, yang lebih murah dari pada harga RON88, diharapkan dapat mendorong Pertamina untuk meningkatkan efisisensi, sehingga harga RON88 juga bisa ditetapkan minimal sama dengan harga RON89 sebesar Rp. 6.100 per litter. Dengan demikian, rakyat sebagai konsumen tidak harus menanggung beban kemahalan harga RON88 akibat inefisiensi Pertamina selama ini,” pungkas dia.
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs