Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung siap mengusut aset milik para koruptor pengemplangan Bantuan Likuditas Bank Indonesia yang saat ini masih beroperasi. Terlebih aset para koruptor itu juga sebagian sudah di eksekusi dan diblokir oleh Pusat Pemulihan Aset.
“Kita masih akan meneliti dan terus memperdalam kasus tersebut. Yang pasti kita tetap akan membuka kasus itu, jika ditemukan alat bukti yang cukup dan kalau memang perlu (dibuka – red) kenapa tidak,” ujar Kasubdit Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Sarjono Turin kepada wartawan di Kejagung, Rabu (24/6).
Diduga ada aset Bank Harapan Sentosa pengemplang BLBI, yang saat ini masih beroperasi yakni Plaza Grosir Cililitan yang pada 2006 sempat diterbitkan surat perintah untuk dilakukan penyidikannya oleh Kejagung, karena dugaan adanya afiliasi antar BHS dan pengelola PGC yakni PT WCS.
“Terkait itu, tetap Saya harus saya lihat dulu, apakah ada indikasi penyimpangan baru atau tidak,” kata dia.
Secara terpisah, President Director Centre of Banking Crisis Deni Daruri meminta, pemerintah segera menyita aset pengemplang BLBI yang berada di Indonesia. Permintaan itu dilakukan demi menyelamatkan uang negara.
“Presiden Jokowi sudah seharusnya melakukan sita badan atas aset milik pengemplang BLBI. Ini pekerjaan rumah pemerintahan saat ini, yang tidak boleh ditunda-tunda lagi,” kata Deni saat dihubungi.
Aset-aset itu, kata dia, yakni PGC dan Mall Tebet Green yang disebut-sebut masih menjadi milik Hendra Rahardja, pendiri BHS Grup. “Siapapun itu, apapun itu ya harus disita dong. Hendra Rahardja kan salah satu pengemplang BLBI. Walaupun orangnya sudah meninggal tapi kasusnyakan belum kadaluarsa. Nah itu, Tanggung jawabnya di kemenkeu dan kejagung,” kata dia.
Pemerintah juga diharapkan tegas terhadap para pengemplang BLBI senilai Rp 144,5 triliun itu. Sebab, kasus BLBI termasuk mega skandal terbesar sepanjang sejarah di Indonesia. “Kalau benar PGC dan Mall Tebet berafiliasi dengan Hendra Rahardja, harus disita negara itu,” kata dia.
Deni berharap, pemerintah bergerak cepat karena jangan sampai ada upaya penggelapan aset-aset BLBI tersebut dengan cara menghapus jejaknya. Apakah, lanjutnya, dengan cara transaksi bisnis atau peralihan kepemilikan.
“Saya pikir kalau hal itu terjadi maka itu sudah masuk juga kedalam ranah tindak pidana baru, yakni TPPU. Siapa yang mengambil untung atas praktik tersebut harus diusut dan ditindak,” kata dia.
Berdasarkan informasi, set-aset koruptor yang tengah dan telah disita, diantaranya milik Lee Dharmawan (kasus korupsi di Bank BPA), Edy Tanzil (kasus Bapindo) dan terakhir kasus BLBI Bank BHS dengan terpidana Hendra Rahardja, Sherny Kojongian dan Edo Edi Putranto.
Aset-aset dimaksud, diantaranya tanah di sejumlah daerah di Banten, Kemayoran, Cengkareng dan sekitarnya serta Bogor. Diduga termasuk PGC yang notabene kepemilikannya masih kerabat Hendra Rahardja. Patut diketahui, PGC yang bekas lahan Terminal Cililtan telah ditukar guling dengan Terminal Rambutan di masa Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto.
Untuk diketahui, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung pada 7 Agustus 2006 pernah menerbitkan surat perintah penyidikan bernomor Print 41/F.2/Fd.1/08 terkait kasus yang berhubungan dengan BHS Bank. Termasuk dugaan penyimpanan aset senilai Rp 848 miliar oleh PT Wahyu Permata Jaya di PGC, Jakarta Timur.
BHS Group melalui PT Wahyu Permata Jaya disebut-sebut memiliki saham terbesar di PGC, yakni 800 lembar saham. Selanjutnya, PT WPJ berubah menjadi PT Wahana Cipta Sejahtera yang kemudian menjadi developer sekaligus pengelola PGC.
PT WCS juga mengelola Mall Tebet Green yang berada di Jalan Letjen MT Haryono, Jakarta Selatan. Mal ini didirikan pada 2009 di atas tanah seluas 7.475 meter persegi. Januari lalu, gedung ini disegel karena menunggak pajak senilai Rp 1,8 miliar.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu