Ratusan warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) turun dari KRI Teluk Banten 516 di Dermaga Mako Kolinlamil, Jakarta, Rabu (27/1/2016). Sebanyak 712 warga eks Gafatar dipulangkan dari Pontianak ke Jakarta, untuk kemudian dikembalikan ke daerah masing-masing di Sumatra, Jawa Barat dan Banten.

Surabaya, Aktual.com — Pasca pemulangan eks anggota gafatar ke daerah masing-masing, ternyata masih banyak menyisakan permasalahan. Presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi Jawa Timur, Aan ansori, mencontohkan seperti banyaknya mantan gafatar yang tidak diterima masyarakat. Diantaranya, eks gafatar asal Nganjuk terpaksa memilih kembali di penampungan Transito, Disnaker Jatim, Jawa Timur.

Oleh sebab itu, menurut Aan, pemerintah tidak harus fokus terhadap eks gafatar, tetapi juga harus memberikan pelajaran terhadap masyarakat agar mau menerima.

“Berikan wawasan pada masyarakat bahwa gafatar tidak mengajarkan orang untuk bertindak kasar atau menyerang. Masyarakat juga perlu pembelajaran agar tidak melakukan diskriminasi,” kata Aan, di Jawa Timur, Sabtu (6/2).

Menurut AA, jika diruntut kebelekang dalam kasus gafatar ini, negara termasuk MUI telah meletakkan stigma yang ada, sehingga mendorong masyarakat membenci gafatar tanpa tahu apa yang terjadi. Dampaknya, masyarakat berprasangka yang buruk yang sebenarnya tidak tahu.

Dengan dampak seperti ini, Aan menilai bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak adil. Sebab, MUI hanya memberikan fatwa bahwa gafatar adalah sesat, tetapi tidak mampu memberikan solusi dampak dari fatwa tersebut.

“Jadi MUI seharusnya tidak boleh memberikan fatwa jika mengatakan gafatar adalah sesat. Seharusnya kalau mau fair harus diletakkan di pengadilan. Ini adalah dampaknya, MUI dan negara belum pernah berpikir dampaknya.” lanjut Aan.

Jika tidak bisa memberikan solusi, maka  fatwa itu harus dicabut. MUI harus bertanggung jawab karena sudah memecah belah masyarakat.

“Kalau tidak bisa menyatukan, maka fatwa gafatar sesat harus dicabut. Sama halnya kelompok Ahmadiyah, setelah dikatakan sesat akhirnya terjadi perpecahan. Padahal setelah diteliti, dampak masyarakat sekitar tidak ada. MUI harus memikirkan jangka panjang. Tidak hanya sekedar memberikan fatwa. Kalau diam saja ini namaya egois.” lanjut Aan.

Begitu halnya dengan pemerintah yang sudah memberikan sanksi sosial terhadap eks gafatar. Jika dikatakan sesat, seharusnya menggunakan hukum KUHP.

“Contoh Ahmadiyah dan gafatar, saya sudah tanya, apa pidanaya? Nyolong juga tidak. Fatwa sesat hanya didasarkan satu penelitian tanpa bukti secara hukum. Saya coba tanya balik, para pelaku pembakaran dan yang memanen hak nya gafatar di Kalimantan apakah sudah ada proses hukum? Tidak kan?” tanya Aan.

Oleh sebab itu, untuk menentukan sesat tidaknya organisasi, bisa dilihat dari beberapa hal.

“Ada pengakuan tetap berada di NKRI atau tidak, melegalkan kekerasan atau tidak baik secara nyata maupun doktrinya? Kedepan jika ada kelompok yang tidak disenangi rezim, maka intelejen harus mampu mengorek informasi. Kalau ada bukti yang cukup, harus ada penetapan hukum,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka