Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) hak asasi DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Masinton Pasaribu, membandingkan lembaga tersebut dengan rezim Orde Baru.

Ia mengisahkan, tidak banyak masyarakat Indonesia yang sadar akan penyelewengan dari program pembangunan yang digaungkan oleh Orde Baru. Padahal, sudah banyak kritik yang dilontarkan oleh mahasiswa selama 15 tahun awal pemerintahan Soeharto.

“Kita baru tersadar setelah 32 tahun, ternyata pembangunan yang dilakukan rezim soeharto melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisme atau kita sebut KKN,” ujar Masinton dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (22/8).

Menurutnya, kritik yang dilontarkan mahasiswa selama 15 tahun awal kepemimpinan Soeharto tidak berpengaruh banyak terhadap masyarakat banyak. Pasalnya, rezim penguasa saat itu melakukan segala cara untuk mematahkan kritik tersebut.

Seperti yang diketahui, beberapa kritik mahasiswa yang terjadi pada 15 tahun kepemimpinan Soeharto antara lain adalah Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) dan aksi mahasiswa pada 1978 yang melahirkan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).

“Pada masa itu generasi 74 yang dimotori Hariman (Siregar) cs, sudah memotori kritik itu. Tapi saat Orba, kritik distigmakan sebagai anti pembangunan, bahkan keturunan PKI,” jelasnya.

Hal yang sama pun terjadi pada 15 tahun berdirinya KPK. Masinton mengungkapkan bahwa selama ini publik telah terjebak pada konstruksi opini yang cenderung memuja lembaga tersebut.

Padahal, lanjutnya, KPK bukanlah Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Karenanya, sah-sah saja jika terdapat pihak yang mengkritik lembaga yang lahir pada era Megawati Soekarnoputri ini.

“Jangan sampai kita telat sadar. Bagaimanapun, KPK lahir karena desakan perubahan, tuntutan kita terhadap penyelenggaraan negara yang bersih sebagai antitesis dari rezim Orba,” urainya.

Ia sendiri berpendapat bahwa selama 15 tahun berdiri, KPK telah menjadi lembaga yang mencoreng hukum. Alih-alih menegakkan hukum, KPK justru menjadi lembaga yang mempolitisasi penegakkan hukum.

Hal ini tampak dalam beberapa kasus besar yang mandek penanganannya oleh KPK, seperti kasus Pelindo II, Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta.

“15 tahun KPK, baru sadar kalau KPK bukan pemberantasan korupsi tapi politisasi pemberangusan korupsi. Bukan pemberantasan korupsi dalam arti sesungguhnya, bukan dalam kerangka penegakan hukum,”  pungkasnya.

(Reporter: Teuku Wildan A)

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Eka