Ketua Komnas HAM Nur Kholis (kiri), Pendiri dan Ketua Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman (tengah) dan Pendiri FIHRRST H.S. DIllon (kanan) menjadi nara sumber dalam rapat dengar pendapat tentang Efektivitas Pemberlakuan Hukuman Mati di Indonesia di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Jumat (26/2). Rapat tersebut berpandangan hukuman mati masih dianggap hukuman yang melanggar HAM, namun demikian pemberlakuan hukuman mati di Indonesia masih diperbolehkan untuk kejahatan yang sangat serius dan dianggap berdampak luas pada kegiatan berbangsa dan bernegara. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/nz/16.

Jakarta, Aktual.com – Jaksa Agung Republik Indonesia di tahun 1999-2001, Marzuki Darusman menyarankan sejumlah cara kepada Komnas HAM RI, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Ombudsman RI untuk mendesak pemerintah menyelesaikan kasus Hak Asasi Manusia.

Pertama, ia mengajak lembaga-lembaga tersebut bekerja sama dengan DPR RI dan membentuk koalisi dengan partai politik.

“Lihat partai politik mana yang paling tinggi suaranya di daerah tertentu. Hubungi orang-orang ini, ciptakan koalisi di dalam DPR, desak pemerintah,” saran Marzuki di gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (10/12).

Ia mencontohkan ketika Partai Amanat Nasional misalnya yang berminat untuk menyelesaikan kasus HAM, ia menyarankan Komnas HAM mendatangi PAN.

“Kalau ada masalah bersangkutan dengan HAM, hubungi PAN sehingga partai ini bisa berkoalisi dengan yang lain bersama mendesak pemerintah,” ujar Mantan Ketua Komnas HAM 1998-2003 itu.

Selain itu, ia juga menyarankan agar lembaga-lembaga formal yang berjuang soal HAM bekerja sama dengan media massa untuk membantu membentuk tekanan publik.

Agar yang dibentuk media massa itu tidak hanya masalah-masalah dan berita-berita yang dianggap lebih penting oleh masyarakat dan pemerintah seperti masalah ekonomi dan politik namun juga masalah pelanggaran-pelanggaran HAM dan masalah-masalah yang bersangkutan dengan persoalan kemasyarakatan.

“Agar itu terdesak keluar dari media, sehingga membentuk opini publik, menekan pemerintah, menekan kelompok-kelompok masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Ini tantangan tersendiri,” ujar Marzuki.

Menurut Marzuki, teknik ini yang belum dimanfaatkan secara menyeluruh sehingga membuat publik terpaksa harus rewel karena itu.

Ia sepakat bahwa lembaga-lembaga perjuangan HAM formal di negara ini harus mengalami penguatan dari segi anggaran dan keuangan.

Tapi yang terpenting menurut dia adalah bahwa kehadiran lembaga-lembaga itu dirasakan bermanfaat oleh masyarakat secara luas dan ini memang memerlukan kerja sama semua pihak.

Ia menambahkan jika masyarakat Indonesia saat ini mengalami fase keadaan setelah perubahan besar pada 30 tahun yang lalu dimana pemerintahan berlangsung sangat ketat.

Menurut dia 30 tahun yang lalu, segala hal diatur pemerintah sampai hal yang sekecil-kecilnya. Semua penyelesaian masalah merujuk kepada keputusan pemerintah untuk menyelesaikannya

Perubahan besar terjadi saat penyelesaian masalah di antara masyarakat kini seakan mau dikembalikan sepenuhnya lagi kepada masyarakat.

“Persoalannya adalah selama 30 tahunan masyarakat itu entah dikatakan manja, dilindungi, diproteksi, tapi secara sekaligus diperlemah dalam menyelesaikan masalah-masalah di antara mereka,” ujar Marzuki.

Dalam 20 tahun terakhir, menurut dia, Indonesia masih mengalami fase dimana masyarakat masih menghadapi sisa keadaan yang dialami dulu yaitu kemampuan menyelesaikan masalah-masalah di antara masyarakat sendiri tanpa harus mengandalkan pemerintah masih lemah.

“Itu kondisi umum yang sekarang kita lalui. Maka dari itu, akan timbul banyak masalah di antara kita. Sebetulnya tidak sepenuhnya masalah politik. Tapi membiarkan masyarakat mencoba menyelesaikan masalah di antara mereka sendiri tanpa banyak dicampuri, dibimbing, atau diarahkan oleh pemerintah,” ujar Marzuki.

Oleh karena itu, Komisi-Komisi kenegaraan yang Indonesia miliki untuk melakukan tindakan bantuan hukum berada di garis depan untuk melakukan pembinaan agar urusan-urusan yang bisa diselesaikan oleh masyarakat melalui musyawarah dan sebagainya itu berlaku untuk hampir semua persoalan yang tidak perlu diatur negara secara formal, tapi bisa melalui mediasi, rekonsiliasi, interaksi.

“Itu kemudian masih harus dilalui satu fase agar menjadikan ini terbiasa. Karena itu memang satu aspek lain persoalan yang dihadapi ini adalah untuk menyelesaikan masalah, masyarakat memang harus rewel. Harus banyak bikin kesusahan pada pemerintah sehingga akhirnya dilayani. Harus banyak gerak untuk memperbaiki keadaan,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan