Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam pada saat kontrak berakhir. Setelah lebih 50 tahun, Blok Mahakam dikelola oleh Total E&P Indonesie, terhitung sejak 1 Januari 2018 secara resmi diambil alih oleh Pemerintah untuk diserahkan pengelolaannya kepada PT Pertamina (Persero) sebagai representasi negara.
Blok Mahakam, terletak di lepas pantai Kalimantan Timur, merupakan lahan Minyak dan Gas (Migas) terbesar di Indonesia, dengan cadangan awal 1,68 miliar barel minyak dan 21,2 trillion cubic feet (tcf). Setelah 50 tahun dieksploitasi oleh Total E&P Indonesie, cadangan tersisa masih sebesar 57 juta barel minyak, 45 juta barel kondensat, dan 4,9 tcf gas.
Dengan sisa cadangan Migas sebesar itu, Pengamat Ekonomi Energi UGM yang juga Mantan Anggota Tim Anti Mafia Migas, Fahmy Radhi mengaku tidak heran atas upaya Total E&P Indonesie berusaha keras dengan berbagai cara untuk kembali menguasai Blok Mahakam melalui perpanjangan kontrak.
“Sejak tahun 2008, Pertamina telah berulang-kali mengajukan usulan ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengelola Blok Mahakam secara mandiri. Pertamina juga menyatakan kesanggupannya mengalokasi dana investasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan produksi,” kata dia secara tertulis, Minggu (31/12).
Lalu pada saat Sudirman Said, menjabat sebagai Menteri ESDM, ia mengakomodir permohonan Pertamina. Awalnya Sudirman Said memutuskan untuk memberikan 100% saham kepada Pertamina, sekaligus sebagai operator tunggal Blok Mahakam, sesuai dengan permintaan Pertamina.
Rupanya, Pertamina tidak “sembodo” alias tidak konsekwen dengan permintaan awal yang menggebu untuk menguasai 100% saham, sekaligus bertindak sebagai operator tunggal.
Secara B2B (Business To Business), Pertamina menawarkan kepada Total E&P Indonesie untuk menguasai saham Blok Mahakam hingga 30%. Lagi-lagi Menteri ESDM Sudirman Said mengakomodasi permintaan Pertamina itu, dengan mengijinkan Pertamina melakukan share down saham Blok Mahakam maksimal sebesar 30%.
Lalu kemudian, entah keinginan Pertamina atau desakan kuat dari Total E&P Indonesia dalam perundingan B2B, Pertamina kembali mengajukan ke Menteri ESDM saat ini, Ignasius Jonan untuk menaikkan share down saham Blok Mahakam dari 30% menjadi 39%.
” Alasan Pertamina, peningkatan share down itu lebih untuk capital and risk sharing. Pasalnya, investasi di hulu Migas, selain membutuhkan modal investasi yang besar dengan pengembalian dana investasi dalam jangka panjang, juga mempunyai tingkat resiko yang tinggi,” ujar Fahmy.
Untuk mengakomodasi permintaan itu, Jonan mengajukan 3 syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina.
Pertama, kendali pengelolaan Blok Mahakam harus dipegang oleh Pertamina, dengan minimal 51% saham dikuasai Pertamina dan 10% Participating Interest (PI) diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Kedua, tidak boleh ada penurunan volume produksi Migas pasca pengambilalihan Blok Mahakam. Ketiga, Pertamina harus meningkatkan efisiensi pengelolaan Blok Mahakam, sehingga dapat menurunkan cost recovery per unit, lebih rendah dibanding cost recovery per unit saat dikelola Total E&P Indonesie.
“Menteri ESDM tidak mensyaratkan share down saham itu harus ditawarkan kepada Total E&P Indonesie. Secara B2B, Pertamina bisa menawarkan share down kepada investor selain Total E&P Indonesia, yang dinilai lebih menguntungkan bagi Pertamina,” imbuhnya.
Untuk memenuhi ketiga persyaratan tersebut, Pertamina konon sudah mengantisipasi potensi penurunan produksi Blok Mahakam selama masa transisi. Untuk menjaga produksi gas tetap di atas 1 tcf, Pertamina akan meningkatkan jumlah sumur pengeboran dari 6 hingga mencapai 19 sumur.
Pertamina bahkan telah menyiapkan dana sebesar USD 180 juta atau sekitar Rp 2,34 triliun untuk membiayai pengeboran 19 sumur itu. Memang di awal pengambilalihan, produksi berpotensi mengalami penurunan. Namun, dengan dioperasikan 19 sumur itu, produksi Gas akan kembali meningkat, yang diperkirakan bisa mencapai 1,6 tcf, pada tahun berikutnya.
Kendati masih share down hingga 39%, menurut Fahmy, Pengambilalihan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina harus menjadi “preseden baik” bagi negeri ini. Pertamina mesti menjadi champion dalam setiap pengambil-alihan sejumlah Lahan Migas, yang kontraknya berakhir.
Sebagai champion, Pertamina diharapkan lebih mampu mengelola lahan Migas di negeri sendiri, yang lebih menguntungkan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanah konstitusi. Namun, jika Pertamina gagal meningkatkan produksi dan menurunkan cost recovery per unit dalam pengelolaan Blok Mahakam, maka Pertamina sebagai business entity akan semakin terpuruk.
“Pengambilalihan Blok Mahakam memang merupakan peluang dan tantangan bagi Pertamina, sekaligus sebagai pertaruhan bagi pencapaian kemandirian energi negeri. Pertamina harus bisa membuktikan kemampuannya sebagai champion, tidak hanya dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan pengelolaan Blok Mahakam, tetapi juga memenangkan pertaruhan dalam mencapai kemandirian energi ini,” pungkasnya.
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs