Jakarta, aktual.com – Maulana Syekh Yusri Rusydi menjelaskan, bahwa ibadah at-tarkk (meninggalkan perkara yang dilarang) adalah pahalanya lebih besar dari pada ibadah al-fii’l (melakukan sebuah ketaatan).
Sebagian orang mengira, bahwa semakin banyak seorang hamba melakukan perbuatan ibadah, maka semakin pantas pula untuk disebut sebagai ahli ibadah. Hal ini adalah pemahaman yang keliru, karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Imam Tirmidzi telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Jagalah diri kalian dari sesuatu yang haram, maka kamu adalah orang yang paling ahli ibadah. Ridhalah terhadap apa yang telah Allah bagikan untukmu, maka kamu adalah orang yang paling kaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, maka kamu adalah orang yang beriman. Cintailah (sesuatu) untuk orang lain, seperti kamu mencintainya untuk dirimu, maka kamu adalah orang muslim. Dan janganlah kamu banyak tertawa, karena sesungguhnya terlalu banyak tertawa adalah bisa mematikan hati,” (HR. Turmudzi).
“Dalam hadits di atas, baginda nabi SAW tidak mengatakan bahwa orang dikatakan sebagai ahli ibadah adalah mereka yang banyak shalatnya, puasanya, sedekahnya, hajinya, umrahnya, ataupun ibadah-ibadah yang lain, akan tetapi ahli ibadah adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh agama,” tegas syekh Yusri.
Syekh Yusri menambahkan, bahkan ketika seseorang masuk islam, maka dia akan memulainya dengan bersyahadat, yang diawali dengan an-nafyu (yaitu meyakini bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah), kemudian barulah al itsbat (menyakini bahwa hanya Allahlah yang berhak untuk disembah).
Hal inilah yang kerap sekali dibahas oleh ahli tasawuf, yaitu seorang salik (hamba yang meniti jalan Allah), hendaklah memulai dirinya dengan at takhalli (membersihkan diri dari segala sesuatu yang dilarang dengan meninggalkannya) sebelum at tahalli (menghiasi diri dengan ibadah dan akhlak terpuji). Barulah ia akan mencapai maqam at-tajalli (yaitu menyaksikan bahwa Allah adalah wujud yang hakiki dibalik alam semesta ini).
“Seorang salik apabila sudah mampu mempraktikannya, maka dirinya akan selalu menjadi rahmah (bentuk kasih sayang) dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun ia berada. Dan inilah perupakan sifat warisan Rasulullah Saw, yang harus diikuti oleh umatnya, karena baginda adalah merupakan rahmat bagi alam semesta,” pungkas Syekh Yusri.
Wallahu a’lam.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain