“Trotoar kami sudah pakai andesit-granit, ada yang stem konkret, tau-tau disiram kopi, bakso kan sayang. Saya juga sudah sampaikan pada Dinas UMKM dan Wali Kota tolong yang dibina loksem-loksem itu diberikan edukasi supaya nanti berubah. Kan dia kan jualan itu kan harus meningkatkan kualitas juga dengan mengubah diri,” ujar Hari.

Adapun penentuan lokasi berjualan bagi PKL, kata Hari, masih dalam tahap pembahasan peta jalan (roadmap)-nya, termasuk PKL yang seperti apa yang bisa berjualan di atas trotoar.

“Ini roadmapnya baru digodok mana yang boleh dan tidak di mana saja. Tapi kalau yang kecil 1,5 meter itu haknya pejalan, tidak bisa lagi. Lapaknya juga nanti dirancang oleh Dinas UMKM,” ucapnya.

Sebelumnya, pasal 25 ayat 1 dalam Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Pasal tersebut menjadi landasan Gubernur DKI Jakarta mengatur dan mengelola PKL di Jakarta, termasuk alih fungsi di atas trotoar.

Putusan itu bernomor 38/P.PTSVIII/2019/42 P/HUM/2018 dan dibacakan pada 18 Desember 2018.

Putusan MA yang memenangkan gugatan politikus Partai Solidaritas Indonesia William Aditya Sarana dan Zico Leonard itu dikarenakan kebijakan demikian dinilai bertentangan dengan Pasal 127 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Mereka menggugat Perda Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum, pasal 25 ayat 1, tentang kewenangan gubernur DKI Jakarta memberikan izin trotoar dan jalan sebagai tempat usaha PKL. Putusan Mahkamah Agung mengamanatkan Perda Nomor 8/2007 pasal 25 ayat 1 tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku.

Artikel ini ditulis oleh: