Jakarta, Aktual.co —Pada tahun 1960, Jakarta mengalami banjir besar. Grogol yang menjadi pemukiman baru bagi 800 penduduk gusuran dari Jalan Thamrin pertama kalinya mengalami kebanjiran. Banjir tersebut diakibatkan rusaknya bendungan di Kebon Jeruk dan juga pasangnya laut.
Pada tanggal 7 hingga 10 Februari 1960, banjir melanda daerah Grogol karena Sungai Grogol dan Kali Angke meluap. Ketinggian air di pintu air Grogol adalah 30 cm sedangkan di Kali Angke adalah 60 cm. Menurut Jawatan Penerangan, daerah terparah adalah Kelurahan Grogol dengan 2.114 rumah rusak dan 15.290 orang mengungsi, di Jelambar sebanyak 1.858 rumah rusak dan 12.636 orang mengungsi, dan di Cengkareng sebanyak 692 rumah rusak dan 2.899 orang mengungsi.
Pemerintah pun mengambil sikap dengan melakukan operasi pasar dengan menjual 22,5 ton beras yang disalurkan melalui warung dan toko grosir dengan harga resmi pemerintah.
Banjir pada tahun 1960, dianggap membahayakan kawasan Istana Negara. Untuk itu, air dari pintu air Manggarai dialirkan ke banal banjir sehingga rumah-rumah di pinggir kanal banjir hanyut.
Banjir juga melanda Jalan Asam Lama, Jalan Sabang, Jalan Tangerang, Jalan Kebon Jeruk, Kampung Penjaringan.
Sebagai jawaban atas ketidakmampuan menangani banjir, pemimpin Kota Praja Jakarta Raya mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh kekuatan alam. Untuk mengurangi banjir, ada usulan untuk bekerjasama dengan pemadam kebakaran untuk menyedot air dan dialirkan ke kanal banjir atau mungkin dengan memperbaiki tanggul.
Penanganan banjir di Jakarta pada masa itu melibatkan 5 instansi yaitu Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, dan Departemen Keuangan.
Tahun 1963, banjir kembali datang. 9 dari 21 kecamatan di Jakarta terendam banjir yaitu di Krukut, Kampung Melayu, Salemba, Senen, Angke Duri, Tanah Abang, Gambir, Petamburan dan Cengkareng.
Melihat hal itu, pada tanggal 21 Januari 1963, dibentuk tim khusus untuk memberikan bantuan kepada warga sebagai bentuk responsif terhadap bencana banjir di Jakarta.
Susunan tim tersebut adalah Wakil Gubernur DKI (Ketua Umum), Patih Singgih (Ketua Pelaksana), Kapten Simanjuntak (Seksi I Keamanan), A. Kafar dan Firdaus (Seksi II Pengungsian/Evakuasi), Miharso, Djoko, Kapten Sutomo (Seksi III Penampungan/Dapur), Sudigdo (Seksi IV Kesehatan), Kompol Ali, Tb Mansur Mamum (Seksi V Bahan Makanan), Ir. Manuhutu dan para Bupati (Seksi VI Pencegahan Bencana), dan Soeweno dan Firdaus (Seksi VII Penerangan).
Pada tahun 1963 pertama kalinya bencana banjir ditangani oleh tim khusus yang dibentuk pemerintah. Mereka mengalami kesulitan dalam penyediaan dapur umum. Menurut perhitungan tim, jika pengungsi berjumlah sekitar 100.000 jiwa, maka tim harus menyediakan dapur umum yang mampu memasak 17 ton beras untuk satu kali makan, selain sayur mayur dan bahan makanan lain. Padahal jumlah dapur umum yang tersedia hanya mampu melayani 15.000 orang, yaitu di dapur umum Lapangan Rinkes, Batalyon Brawijaya, Rumah Sakit Jiwa Grogol, Rumah Penjara Glodok, Cipinang, Bukir Duri dan Rumah Asuhan Budi Cengkareng.
Untuk menjaga keamanan, ditempatkan pos-pos penjagaan di beberapa tempat dan memantau menggunakan perahu karet dan pos radio.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid