Jakarta, Aktual.co —Banjir merupakan bencana yang akrab bagi warga Jakarta, terutama warga yang tinggal disepanjang bantaran Kali. Baik Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Sunter yang kerap mengalami dan menjadi korban banjir. Bahkan bencana banjir dengan Jakarta sepertinya merupakan kedua hal yang dulit dipisahkan.
Selain karena wilayahnya yang lebih rendah dari permukaan laut, curah hujan yang tinggi, dan sistem drainase yang kurang baik, banjir di Jakarta juga disebabkan oleh sampah. Sebenarnya, banjir sudah melanda Jakarta sejak masa kolonial Belanda, ketika masih bernama Batavia.
Menurut Restu Gunawan dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, banjir di Batavia pertama kali melanda pada tahun 1621. Untuk itu, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoen Coen mengupayakan penanggulangan banjir dengan membangun kanal-kanal untuk membagi aliran sungai Ciliwung.
Namun, upaya tersebut gagal dan banjir besar pun masih tetap melanda pada tahun 1654, 1873 dan 1918. Tahun 1920, insinyur hidrologi Herman van Breen mengusulkan rencana penanggulangan banjir dengan memecah aliran sungai yang masuk ke Batavia melalui sebelah kiri dan kanan Batavia sehingga bagian tengah kota terhindar dari aliran air. Untuk itu, maka tahun 1922, pembangunan Banjir Kanal Barat (Manggarai-Karet) dimulai.
Pembangunan BKB dibangun dalam dua tahap. Pertama, pembangunan dimulai dari Pintu Air Manggarai menuju arah barat dan melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah Karet. Tahap kedua, pembangunannya dibangun dari Karet ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan dan berakhir di Pluit.
Selain membangun BKB, pemerintah kolonial juga melakukan pemeliharaan sungai dengan mengeruk beberapa sungai besar di Batavia seperti Sungai Ciliwung, Kali Angke, Sungai Krukut, Kali Baru, Saluran Sentiong dan lainnya. Namun, sayangnya, upaya tersebut tidak cukup mengatasi banjir di Batavia. Banjir terus melanda Batavia bahkan hingga saat ini dengan nama kota yang telah berubah menjadi Jakarta.
Menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, pembangunan kanal di Batavia justru menimbulkan masalah baru, yaitu rusaknya ekologi kota bukan mengurangi banjir. Meskipun kanal dibangun, tetapi air tidak lantas mengalir dengan lancar bahkan acapkali tidak dapat menampung air. Saat musim hujan, air di kanal-kanal itu meluap. Sebaliknya, musim kemarau, kanal-kanal itu kering sehingga menimbulkan bau busuk dan penyakit.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya pabrik gula pada abad ke-18. Untuk membuat pabrik gula, pohon harus ditebang, kayunya dibuang ke Kali Ciliwung. Saat pabrik gula itu berdiri, ampas penggilingan tebu juga dibuang ke Kali Ciliwung. Air tersumbat sehingga menyebabkan banjir di Batavia. Untuk itu,untuk permasalahan banjir di Jakarta tidak boleh jika hanya terpaku pada drainase horizontal berupa kanal dan saluran air alami daja, tetapi juga dengan konservasi air dengan mengurangi air di permukaan.
(Bersambung…)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid

















