“Kita harus siap jangan hanya menikmati hak sebagai pejabat tinggi. Tapi risiko kritik itu ada. Kritik itu kerap sifatnya emosional. Mana ada orang yang budaya kritiknya feodal menggunakan kata yang sopan santun,” kata dia.

Masalahnya, lanjut dia, lewat revisi UU MD3 yang telah disetujui DPR dapat menyeret siapa saja yang melancarkan kritik dianggap melakukan penghinaan. Jika seperti itu maka undang-undang itu dapat menjadi pasal karet yang bisa menyeret kritik siapa saja sebagai bentuk penghinaan.

Jimly mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia merupakan warisan pemerintahan Belanda. Saat itu, di dalam KUHP terdapat undang-undang yang melarang penghinaan terhadap pemerintah. Perlahan pasal itu dihilangkan di zaman Indonesia kini agar tidak membungkam kritik di negara demokrasi.

Jika pasal penuntutan penghinaan kembali dihidupkan, kata dia, maka Indonesia seperti kembali pada masa KUHP dibuat yaitu di masa penjajahan Belanda pada 1 Januari 1918. KUHP saat itu digunakan Belanda untuk meredam suara rakyat Indonesia yang dijajah.

“Karena itu pasal penghinaan presiden itu sudah kita hapus. Di negara Eropa ada pasal soal itu tapi seabad tidak dipraktikkan. Maka sekarang kita bangun peradaban besar Indonesia agar bisa membedakan perasan pribadi dengan sikap institusi. Institusi tidak ada perasaan,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid