Karyono menyampaikan, ruang politik seolah memberi kebebasan kelompok radikal yang dengan leluasa mengobarkan sentimen agama. Kelompok ini kerap mengatasnamakan agama untuk menyerang pihak lain yang dianggap berbeda keyakinan, berbeda pandangan politik dan ideologi.
Menurut dia, potret pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan contoh nyata dimana isu SARA digunakan untuk kepentingan politik.
“Sayangnya, potret buruk pilkada DKI bukan menjadi evaluasi untuk mengakhiri penggunaan isu SARA dalam kontestasi politik tetapi malah semakin meningkat. Isu SARA, black campaign dan berbagai berita hoax yang mengandung unsur fitnah justru dipabrikasi dan diperluas eskalasinya dengan berbagai modifikasi,” katanya menilai.
Dia menekankan, hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah hal tersebut ada korelasinya dengan kepentingan politik pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019 yang akan datang. Serta siapa yang menjadi sasaran.
Jika mengamati gejala yang timbul, kata dia, seperti yang terjadi di pilkada DKI Jakarta yang diwarnai isu SARA untuk menumbangkan Ahok yang merupakan kandidat gubernur DKI Jakarta non-Muslim dan beretnis Tionghoa, pengakuan pengacara alumni 212 Kapitra Ampera yang mengatakan Gerakan Alumni 212 adalah gerakan politik dan terungkapnya pengakuan kelompok alumni 212 yang meminta komitmen dengan tiga pimpinan partai (Gerindra, PAN dan PKS) untuk memberi dukungan rekomendasi terhadap bakal calon kepala daerah yang diusulkan oleh kelompok tersebut di sejumlah pilkada maka jelas ada kepentingan politik di balik jubah agama.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid