Sistem politik demikian, kata Karyono, tentu memengaruhi proses penyusunan kabinet pemerintahan sulit dimonopoli oleh satu kekuatan politik tunggal yang ada dalam koalisi, bahkan oleh presiden sekalipun, yang sejatinya diberi kewenangan oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 17 ayat 2, presiden memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
Atas dasar itu, lanjut dia, maka paradigma berfikir tentang jabatan menteri profesional tidak lagi kaku.
“Kita bisa menarik konklusi yang lebih substansial sebagai jalan tengah bahwa diksi menteri profesional lebih ditekankan pada kriteria dan kualifikasi yang dibutuhkan, bukan lagi dimaknai secara dikotomi kategori menteri parpol versus menteri profesional,” tuturnya.
Namun demikian, dalam hal ini tidak mudah untuk meyakinkan publik karena kuatnya persepsi yang terbangun selama ini yang membuat publik kurang percaya terhadap keprofesionalan menteri dari kalangan partai politik.
Peran dan kinerja menteri dari kalangan profesional berdasarkan hasil riset yang dilakukan Alvara Research Center ternyata lebih disukai publik. Berdasarkan hasil survei, publik ternyata memang lebih puas dengan menteri yang berasal dari kalangan profesional. Tak heran jika lima peringkat teratas menteri terbaik selama pemerintahan Jokowi-JK berasal dari kalangan profesional.
“Ini artinya, publik mengakui kinerja dari menteri dengan latar belakang profesional,” kata CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, dalam keterangan resminya, di Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh: