Foto: Istimewa

Jakarta, Aktual.com – Indonesia Police Watch (IPW) meminta Polri menyentuh bos mafia bola yang sudah menghancurkan sepak bola nasional.

Di sisi lain, IPW mengapresiasi Satgas Antimafia Sepak Bola yang bekerja cepat menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (22/1), mengatakan bahwa satgas tidak hanya mengubek Liga 3 dan Liga 2, tetapi juga harus membongkar dugaan praktik mafia di Liga 1 dan di Timnas yang merupakan “kasus di depan mata” agar bos bos mafia bola bisa terciduk.

Menurut Neta, di tahap pertama, Satgas harus fokus pada sistem pengaturan skor dan menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah oknum di dua lembaga di bawah PSSI, yakni lembaga kompetisi dan lembaga perwasitan.

Jejak digital oknum di dua lembaga itu perlu ditelusuri untuk membongkar jaringan mafia yang sesungguhnya karena dua lembaga itu mempunyai hak veto dalam mengatur roda kompetisi dan menunjuk para wasit yang memimpin kompetisi Liga 1, 2, dan 3.

IPW mendesak Satgas Antimafia Sepak Bola untuk fokus pada pihak yang memiliki veto untuk diketahui memiliki keterlibatan atau tidak.

Apabila sudah mendapat informasi dari sumber, satgas diminta tetap waspada karena terdapat kemungkinan sumber tersebut pernah terlibat dalam mafia sepak bola.

“IPW khawatir Satgas tidak paham dengan sejarah atur mengatur pertandingan dan justru dibohongi. Oleh itu, Satgas perlu melakukan cek ulang, toh Polri punya PS Bhayangkara di sepak bola nasional,” kata Neta S. Pane.

Orang-orang di PS Bhayangkara, kata dia, dapat diminta bantuannya untuk melakukan cek ulang info sepihak dari sumber sekaligus membongkar jaringan mafia sepak bola nasional, mulai dari Liga 3, 2, 1, dan timnas.

Mafia bola disebutnya sudah menghancurkan sepak bola nasional dari hulu hingga hilir dengan menciptakan kasus suap dan pengaturan pertandingan, termasuk dugaan mengatur juara, promosi, dan degradasi. Ada pun Anggota EXCO PSSI dari hasil keputusan Kongres PSSI di Ancol, 10 November 2016 adalah Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, Wakil Ketua Umum Joko Driyono, dan Iwan Budianto.

Sebanyak 12 anggota lainnya, yaitu Hidayat, Yunus Nusi, Condro Kirono, Gusti Randa, Pieter Tanuri, Juni A. Rahman, A.S. Sukawijaya, Johar Lin Eng, Refrizal, Dirk Soplanit, Very Mulyadi, dan Papat Yunisal.

Dari 15 anggota EXCO PSSI yang terpilih, Edy Rahmayadi dan Hidayat mengundurkan diri, sedangkan, Johar Lin Eng pada pertengahan Desember 2018 sudah berstatus tersangka.

Dalam statuta PSSI yang berkiblat ke FIFA, 15 anggota EXCO PSSI yang dipilih oleh 105 pemilik suara (voters), konsepnya kolektif kolegial. Akan tetapi, untuk masalah pekerjaan, setiap anggota EXCO PSSI punya kewenangan yang tidak dapat diintervensi oleh sesama anggota EXCO PSSI lainnya.

Contohnya, ketika Iwan Budianto, menjadi anggota EXCO PSSI di bawah kepimpinan Nurdin Halid (2007 s.d. 2011), dia membawahi Badan Liga Sepak Bola Amatir Indonesia (BLAI) sehingga mempunyai hak veto untuk tidak bisa diintervensi oleh sesama anggota EXCO PSSI.

Begitu pula Moh. Zein sebagai anggota EXCO PSSI periode yang sama pun membawahi perwasitan sehingga memiliki kekuasaan penuh mengatur para wasit yang memimpin Indonesia Super League (ISL) sejak 2008 hingga 2013.

Sementara Subardi, anggota EXCO PSSI pada zaman Nurdin Halid, pun punya kewenangan di bidang kompetisi.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin