Pasukan Asmaul Husna Polri mengikuti apel pasukan pengamanan Pilkada 2017 di Monas, Jakarta, Rabu (2/11). Sebanyak 4000 pasukan gabungan TNI dan Polri melaksanakan apel pengamanan Pilkada serentak 2017. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/kye/16

Jakarta, Aktual.com – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengecam keras rencana Polri yang akan menurunkan aparat kepolisian yang berjubah dan bersorban dalam pengamanan Aksi Bela Islam II pada 4 Nopember 2016.

“Polri harusnya tetap profesional dan proporsional dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan masyarakat,” kata Neta dalam keterangannya, Rabu (2/11).

Dalam situasi apapun Polri, IPW berharap Polri tidak lebay dan harus mampu menjaga profesionalismenya serta harus proporsional. Artinya, sesuai SOP, dalam menjaga keamanan Polri hanya bisa melakukan keamanan terbuka dengan pakaian seragam dan pengamanan tertutup dengan pakaian preman.

“Tidak ada ketentuan bahwa anggota Polri diperbolehkan mengenakan jubah dan sorban dalam menjaga keamanan. Sebab anggota Polri adalah anggota kepolisian nasional dan bukan anggota polisi keagamaan tertentu,” ucapnya.

“Jika terjadi bentrok dalam aksi demo itu akan muncul kesan bahwa massa keagamaan tertentu bentrokan dengan polisi keagamaan tertentu. Ini akan merusak bangsa Indonesia ke depan,” lanjut Neta.

Ditambahkan, rencana Polri menurunkan polisi berjubah dan bersorban semakin mantap setelah dilakukan gelar pasukan di Monas dimana sejumlah polisi berjubah dan bersorban dipertontonkan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Polri seakan mengakomodir isu SARA dalam Aksi Bela Islam II.

Padahal, Polri seharusnya tetap menjadi polisi yang berwawasan negara kesatuan Inonesia, yang profesional dan proporsional serta jangan diseret-seret ke dalam isu maupun konflik SARA dan jangan terjebak ke dalam warna agama tertentu. Sebab jika Polri larut dalam isu tersebut, internal Polri sendiri yang akan terpecah dengan isu dan konflik SARA.

IPW menilai, dalam menyikapi Aksi Bela Islam II 4 November, Polri sangat grogi dan kebingungan. Hal ini ditandai dengan adanya perintah tembak ditempat dan akan memakaikan rok bagi polisi yang tidak berani melakukan tembak ditempat, yang kemudian pernyataan itu dibantah.

Kemudian akan menurukan polisi berjubah dan bersorban. Padahal, hal itu akan sangat merugikan Polri, apalagi jika polisi yang berjubah dan bersorban itu menjadi korban, jika terjadi bentrok. Untuk itu IPW mendesak agar Polri membatalkan rencananya untuk menurunkan polisi berjubah dan bersorban.

“IPW tetap berharap Polri tetap profesional dan proporsional dan jangan lebay,” jelas Neta.

Selain itu IPW berharap, Presiden Jokowi konsisten dengan omongan dan janjinya bahwa tidak akan melakukan intervensi dalam kasus hukum yang menyangkut Ahok, sehingga Polri tidak terbebani dan tercoreng citranya akibat kasus ini. Hal ini patut diingatkan karena intervensi kekuasaan dalam kasus hukum bukan yang pertama.

Dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi saja sudah ada tiga kasus hukum yang diintervensi kekuasaan. Yakni kasus Novel Baswedan, kasus Bambang Widjojanto, dan kasus Abraham Sammad, yang seharusnya bisa diselesaikan lewat pengadilan.

Untuk itu IPW berharap Jokowi konsisten akan janjinya dalam kasus Ahok agar Polri tidak menjadi bulan bulanan masyarakat.

Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan