Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara secara tegas mengatakan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.05 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 inkonstitusional.
Regulasi baru yang memberikan izin ekspor mineral mentah tersebut dikatakan tidak sejalan denga amanat Undang-Undang No 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VII/2014 yang melarang ekspor mineral mentah.
“Pasal 103 dan 170 UU 04 Tahun 2009 memerintahkan pemurnian dalam negeri dan mendorong industri hilir, bagaimana bisa tingkat UU dilangkahi oleh Permen, ini yang paling dasar. Jangan semau maunya,” kata Marwan di Jakarta, Minggu (22/1).
Kemudian Marwan menyatakan dukungannya kepada kelompok masyarakat yang memiliki badan hukum untuk melakukan uji materi atas peraturan turunan dari PP No 1 Tahun 2017 tersebut ke Mahkamah Agung.
Sebelumnya, koalisi Masyarakat Sipil telah menghimpun kekuatan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO, Mahasiswa, akademisi, dan cendikiawan bersepakat menolak relaksasi mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi menegaskan pihaknya akan melakukan uji materil ke Mahkamah Agung atas Permen ESDM No.05 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017.
Adapun gugatan itu diladasi beberapa pertimbangan yaitu; pertama, izin ekspor mineral mentah dinilai bertentangan dengan konstitusi RI yang memandatkan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Kedua, Permen tersebut diyakini bertentangan dengan UU Minerba (Pasal 102, Pasal 103, Pasal 170), Putusan MK Nomor 10/PUU-VII/2014,
Ketiga, Izin ekspor dirasa akan memicu eksploitasi sumber daya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggungjawab. Terbukti, sejak 2011 hingg 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP
“Padahal, 3.682 IUP mineral berstatus non clear and clean dan hutan konservasi, 24 persen perusahaan selama 2010-2012 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak. 75 persen-nya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, juga perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar Rp23 Triliun,” tuturnya.
Keempat, pelonggaran ekspor mineral telah memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, tapi juga berasal dari kegiatan pertambangan berizin, tapi beroperasi di luar kawasaanya.
Kelima, perubahan pengusahaan Kontrak Karya menjadi IUPK menyalahi ketentuan dalam UU Minerba yang mengatur bahwa untuk menjadi IUPK maka perlu ditempuh prosedur kewilayahan usaha yang ketat, yaitu dimulai dengan adanya penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR RI, kemudian penetapan menjadi WUPK yang diteruskan menjadi WIUPK, setelah itu WIUPK ditawarkan kepada BUMN, dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK.
“Selain itu, pemegang KK seperti Freeport yang mengubah bentuk pengusahaan menjadi IUPK tentu akan mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun. Padahal, pemerintah harus mulai memikirkan untuk mengembalikan wilayah operasi tambang Freeport yang akan berakhir pada 2021 kepada negara untuk selanjutnya dikelola oleh segala potensi dalam negeri,” tandasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka