Bahwa banyak rakyat Indonesia sedang hidup susah sekarang, bukan berita baru. Lapangan kerja dan perputaran bisnis saat ini, di mana rakyat menggantungkan harapan bagi sepercik pekerjaan dan penghasilan, banyak tergantung pada dukungan dana pemerintah pusat yang disalurkan ke daerah-daerah. Justru di sinilah letak ironinya. Pembangunan yang bisa menyejahterakan rakyat tidak berjalan bukan karena tidak ada dana, tetapi dana besar yang ada malah tidak disalurkan!
Media nasional akhir-akhir ini memberitakan, dana konsentrasi yang nilainya mencapai Rp 250 triliun dan sudah ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah baru terserap 0,9 persen. Baca sekali lagi: 0,9 persen! Itu artinya masih di bawah 1 persen. Ini betul-betul gila. Pantas saja, rakyat di daerah sasaran program belum menerima manfaat dari dana tersebut.
Dana konsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi. Dana untuk instansi vertikal pusat tidak termasuk di dalamnya. Dana ini bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah. Dana konsentrasi terdiri dari belanja pegawai, belanja modal, dan dana bantuan sosial.
Sebagian dana konsentrasi itu berasal dari dana bansos yang tersebar di 12 kementerian dan nilai totalnya mencapai Rp 124 triliun. Dana bansos itu diproyeksikan untuk masyaraskat miskin, rentan miskin, berkebutuhan khusus, dan masyarakat usia lanjut.
Dari berbagai laporan tentang penyaluran dana bansos, dikatakan bahwa alasan pemda adalah ketiadaan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Ini menyebabkan penyaluran bansos tersendat, dan mengendap di kabupaten/kota. Para gubernur harus mempercepat realisasi bansos, karena mereka adalah komandan pembangunan di provinsi masing-masing.
Masalah ini patut diperhatikan serius, karena dana yang sangat besar itu juga rawan dikorupsi. Menurut Indonesian Corruption Watch, ada sejumlah penyelewengan yang terkait dana bansos. Aliran dana bansos biasanya mengalami kenaikan menjelang perhelatan pilkada. Sejumlah kepala daerah sudah terseret kasus korupsi dana bansos.
Selain itu, juga marak pemberian dana kepada lembaga yang tidak jelas. Modusnya hampir sama dengan organisasi fiktif, yaitu tidak ada pertanggungjawaban dari penerima hibah dan modus-modus penyelewengan lain yang terus berulang setiap tahun.
Rendahnya penyerapan dana bansos di daerah diyakini terkait persoalan birokrasi yang menghambat di lapangan. Penerima bantuan adalah mereka yang mayoritas bekerja di sektor informal. Mereka sulit mengikuti prosedur birokrasi, yang mengharuskan mereka datang ke kantor kelurahan atau kecamatan. Calon penerima bantuan tidak suka dan tidak biasa menjalani prosedur birokrasi yang berbelit.
Di sisi lain, sejumlah pejabat daerah takut atau malas mengucurkan dana bansos, yang sudah tidak bisa lagi “dimainkan” karena ketatnya pengawasan. Sebelumnya sudah ada ratusan pejabat daerah yang terjerat masalah hukum karena penyalahgunaan anggaran pemerintah.
Seorang pelaku usaha mengatakan pada aktual.com bahwa sistem keuangan yang berlaku sekarang diatur sedemikian rupa, agar menghindarkan terjadinya pertemuan face to face antara calon penerima dana atau pengusaha yang mau menjalankan proyek dengan pejabat pemda setempat. Sistem semacam ini menyulitkan pejabat nakal yang mau main uang, padahal sebelumnya mereka sudah biasa menerima “pemasukan tambahan” dari bermain kewenangan di jalur ini. Oleh karena itu, mereka malas-malasan untuk memproses pencairan dana yang tidak ada “uang pelumasnya.”
Masalah tersendatnya dana ini harus menjadi prioritas untuk diselesaikan, karena rakyat dan masyarakat kecil sangat membutuhkannya. Selain itu, jika dana sudah tersalurkan, ekonomi di daerah akan menggeliat. Kalau perlu, pemerintah pusat bisa memberikan sanksi pada pemda yang lambat menyerap anggaran.
Kementerian Dalam Negeri RI telah menurunkan tim khusus, untuk memastikan pemda memacu penyerapan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta dana konsentrasi. Ini penting untuk menggerakkan pembangunan daerah dan agar perekonomian lokal kembali bergairah.
Depok, 9 Juli 2015
Artikel ini ditulis oleh: