Kontribusi Freeport Kalah Jauh Dibandingkan IHT (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Pengamat ekonomi politik Riza Damanik mendesak Pemerintah tidak lagi fokus pada sektor industri ekstraktif, terutama sektor pertambangan, dan malah melupakan daya saing sektor industri perkebunan dan pertanian. Sektor ekstraktif jelas padat modal karena itu mereka berusaha seminimal mungkin menyerap tenaga kerja. Karena itu, sejatinya, industri ekstraktif susah diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ribut-ribut soal perpanjangan kontrak Freeport juga dinilai tidak terlalu berguna karena kontribusi Freeport dari sisi pajak, hingga serapan tenaga kerja kalah jauh dibanding sektor pertanian dan perkebunan, seperti industri hasil tembakau (IHT).

“Inilah bedanya dengan sektor perkebunan, misalnya IHT yang mampu menyerap hingga 6 juta pekerja langsung dan jutaan orang yang terkait di dalamnya,” jelas pengamat ekonomi politik Riza Damanik kepada wartawan, di Jakarta, Minggu (29/10).

Data menunjukkan, bila seluruh nilai industri badan usaha milik negara yang sebesar Rp1.890 triliun, hanya mampu membayar pajak sebesar Rp160 triliun (8,5%). Demikian juga dengan nilai industri farmasi yang sebesar Rp 307 triliun, cuma bayar pajak Rp 3 triliun (0,9%). Sedangkan pabrik rokok, dengan nilai industri sebesar Rp 248 triliun, setoran pajak (cukai) mencapai Rp 131 triliun (52,7%).

Sementara Freeport, terungkap dalam dengar pendapat dengan DPR beberapa waktu lalu, selama kurun empat tahun belakangan ini, setor ke pemerintah berupa pajak, royalty, dan dividen sebesar Rp 487 triliun. Atau hanya sebesar Rp122 triliun saja per tahun.

“Inilah ironisnya. IHT mampu bayar cukai Rp131 triliun dan kalau digabung dengan pajak-pajak lainnya, bisa mencapai Rp200 triliun. Sementara Freeport hanya Rp122 triliun per tahun. Itupun kalau dibandingkan kerusakan alam yang terjadi akibat penambangan, tentu tidak sebanding,” kritik Riza.

Riza menambahkan, kontribusi pertambangan terhadap pendapatan daerah di  wilayah timur juga secuil sementara keuntungan perusahaan lebih banyak dibawa ke luar negeri ketimbang diinvestasikan kembali di Indonesia. Sementara di sektor perkebunan, perikanan, dan pertanian itu adalah sektor ekonomi berkelanjutan, melibatkan jutaan orang, dan lebih menciptakan pemerataan ekonomi.

Dengan data kontribusi besar dari sektor IHT, Riza menegaskan, pemerintah jangan lagi melulu mengedepankan industri ekstraktif seperti Freeport. Karena notabene Freeport hanya memperparah ketimpangan ekonomi, terutama di Papua. “Dan Freeport justru melanggengkan hal itu,” imbuhnya.

Ia mengingatkan, orientasi ekonomi pemerintah harus menyasar hajat hidup orang banyak dan berbasis ekonomi berkelanjutan bukan semata kepentingan lima tahunan. Kemudian, setiap kebijakan regulasi yang dikeluarkan pemerintah seperti kebijakan cukai harus selalu memperhatikan kemampuan dan daya dukung industri dan tidak boleh semata mengedepankan kepentingan jangka pendek.

“Juga harus ada perombakan di sektor perbankan. Mobilisasi finansial perbankan melulu ke sektor ekstraktif. Ini harus ubah ke sektor perkebunaan, peternakan, dan UMKM karena para krediturnya tidak akan kabur ke Singapura,” tandas Riza.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka