Alih-alih menyajikan gambaran yang komprehensif, hasil penelitian mikroplastik Universitas Indonesia dan Greenpeace justru lebih banyak memantik kegaduhan. Siapa mendapat untung?

Jakarta, Aktual.com – Banyak kening berkerut saat Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia, sebuah lembaga nirlaba dengan agenda advokasi lingkungan yang kerap berbenturan dengan pemerintah, mempublikasikan hasil riset keberadaan mikroplastik pada air minum dalam wadah galon sekali pakai akhir September silam.

Persoalannya sederhana. Alih-alih menyoroti gajah di tengah ruangan, yakni produk air minum bermerek dalam kemasan galon guna ulang yang praktis mendominasi pasar — hampir 70% dari sekitar 30 miliar liter air kemasan yang beredar di pasar pada 2020 dalam wujud kemasan galon guna ulang, data Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia. Riset justru semata terfokus pada dua merek galon sekali pakai yang, notabene, adalah pemain yang levelnya baru belajar berlari.

Inilah yang memunculan kesan adanya bias dari publikasi hasil penelitian itu. Uniknya, setelah satu bulan berlalu, kesan bias itu seperti memasuki tikungan baru. Ini lantaran peneliti universitas mendadak mengarahkan telunjuk ke sejumlah pihak yang dianggap memelintir hasil penelitian, via sejumlah pemberitaan, seolah-olah lembaga menyatakan bahwa kandungan mikroplastik dalam galon guna ulang lebih berbahaya ketimbang pada galon sekali pakai.

“Data yang kita sampaikan itu kan soal kandungan mikroplastik pada galon sekali pakai, bukan pada kemasan plastik yang lain. Jadi, saya heran kalau sampai ada yang memberitakan soal kemasan plastik yang lain. Jelas itu tidak benar,” kata Kepala Laboratorium Kimia UI, Agustino Zulys, seperti dilansir sejumlah media, Jumat (22/10).

Faktanya, bila merujuk rekaman video saat publikasi laporan secara daring pada 23 September, Agustino memang menyatakan belum ada pengujian atau penelitian tentang keberadaan mikroplastik pada air minum dalam galon isi ulang. Namun, dalam video yang sama, dia pula yang menyatakan mikroplastik sebagai kontaminan yang mau tidak mau ada dalam air minum yang dikemas dalam wadah berbahan plastik.

Toh, katanya, meskipun terlihat rigit, kemasan plastik dalam ukuran mikroskopik adalah untaian-untaian polimer yang karena pergeseran dan panas bisa runtuh dan kemudian berada di dalama air itu sendiri.

Masih dalam rekaman laporan yang sama, dia memperkirakan galon isi ulang berpotensi mengandung kontaminan mikroplastik yang lebih banyak daripada galon sekali pakai. Ini karena galon isi ulang mengalami penggunaan berulang-ulang, sehingga proses peluruhan plastiknya lebih banyak.

“Bila pada galon sekali pakai saja mikroplastik bisa ditemukan, tentunya galon isi ulang bakal lebih banyak lagi sebetulnya,” katanya dalam rekaman, menjawab pertanyaan ihwal kemungkinan keberadaan mikroplastik dalam jumlah yang lebih besar pada galon isi ulang dan pada air minuman dengan perasa, soda dan sebagainya yang beredar luas di pasaran dalam kemasan botol plastik.

Laporan penelitian bertajuk “Ancaman Kontaminasi Mikroplastik pada Galon Sekali Pakai” mencakup uji mikroskopik yang rumit atas air minum kemasan di Jabodetabek dengan sampel yang diambil secara acak dari dua merek galon sekali pakai. Hasilnya menunjukkan bahwa air minum dalam kemasan galon sekali pakai mengandung partikel mikroplastik berukuran rata-rata 25,57 mikrometer sampai 27,06 mikrometer.

Sementara itu, kandungannya mencapai rata-rata 80 juta hingga 95 juta partikel per liter. Analisis konsentrasi atau beratnya menunjukkan air minum dalam kemasan galon sekali pakai mengandung mikroplastik paling banyak 5 miligram per liter.

Laporan juga mengungkap bahwa orang Indonesia rata-rata mengonsumsi air minum dalam kemasan, baik itu dalam kemasan botol, galon isi ulang, maupun galon sekali pakai sebanyak 1,89 liter per hari. Dengan asumsi itulah, laporan menyebut orang Indonesia kemungkinan terpapar mikroplastik sampai 9,45 miligram per hari.

Sebagai pembanding, laporan memaparkan hasil uji mikroskopik atas sumber air di alam (Universitas menguji sampel dari Situ Gunung, Puncak, dan Sentul). Hasilnya? Sampel dari tiga lokasi itu mengandung kontaminan mikroplastik meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dari yang ditemukan pada kemasan air galon sekali pakai.

Bila diperas-peras, semua temuan itu mempertegas isu mikroplastik sejatinya tidak semata-mata berkaitan dengan kemasan galon sekali pakai. Tapi, ini terkait dengan seluruh air minum yang dikemas dalam wadah berbahan plastik, termasuk galon isi ulang.

Di sisi lain, seperti diakui sendiri oleh peneliti universitas, konsentrasi partikel mikroskopik pada semua sampel yang diuji masih di bawal level berbahaya yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan, sekaitan itu pula, belum ada riset medis yang konklusif ihwal dampak mikroplastik pada kesehatan manusia.

Maka tak heran bila tudingan bias kemudian menggema lantaran yang kena sasar dalam penelitian sebatas produk air minum dalam kemasan galon sekali pakai. Apalah lagi, setelah satu bulan berlalu, peneliti universitas seperti ingin menghilangkan ‘gajah’ galon guna ulang dari ruang pembahasan publik terkait mikroplastik dalam air minum kemasan plastik.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Bejo Sujatmiko