Berbagai kejadian silih berganti memenuhi ruang publik Asia Tenggara. Isu sengketa wilayah di Laut China Selatan, yang melibatkan China dan sejumlah negara ASEAN (Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam) termasuk yang paling menarik perhatian. Namum, ada isu yang seakan terlupakan. Isu itu adalah soal warga Muslim Rohingya.
Akhir Agustus lalu, isu itu dihidupkan lagi oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB) Ban Ki-Moon. Ia menyatakan, warga Rohingya layak diberi status warga negara Myanmar. Warga Rohingya sudah sejak lama tinggal di wilayah Rakhine, Myanmar bagian barat.
Lebih dari 120 ribu warga Rohingya yang menganut Islam, hidup sebagai minoritas di Myanmar, negara yang mayoritas penduduknya penganut Buddha. Meskipun hidup sejak lama di Myanmar, warga Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, tidak memiliki hak memilih dan hak kerja, bahkan seringkali diejek sebagai penipu.
Padahal, ini bukan hanya masalah soal hak warga Rohingya untuk mendapat identitas diri. Orang-orang yang tinggal selama beberapa generasi di Myanmar, seharusnya menikmati kewarganegaraan dan status hukum yang sama dengan orang lain.
Menghindari Penindasan
Faktanya, ribuan warga Rohingya memilih kabur ke negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia, untuk menghindari penindasan dan mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka seringkali jatuh ke perangkap sindikat penyelundup manusia dan berakhir tewas tenggelam. Pada Juni 2016, PBB menyebut warga Rohingya mengalami diskriminasi parah, yang berpotensi mengarah pada kejahatan kemanusiaan.
Istilah ‘Rohingya’ sendiri menuai protes dari warga penganut Buddha di Myanmar. Mereka bersikeras menyebutnya sebagai ‘Bengalis,’ dan menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Banglades.
Agustus lalu, pemerintah Myanmar mengumumkan dibentuknya panel penasihat yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Panel itu bertujuan mencari solusi untuk isu Rohingya yang rumit dan sensitif. Penunjukan Kofi Annan itu memicu kritik dari kalangan nasionalis Myanmar.
Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi terkemuka di Myanmar, juga mendapat kritik keras dari organisasi HAM internasional, karena dianggap gagal menangani kasus Rohingya dan dituding menghindari isu yang sensitif ini. Suu Kyi yang sedang mulai masuk di panggung kekuasaan di Myanmar tampaknya bersikap hati-hati, dalam menjaga popularitasnya dan dukungan konstituennya, yang mayoritas adalah penganut Buddha.
Suu Kyi meminta ‘ruang yang cukup’ untuk menyelesaikan persoalan yang diderita kelompok minoritas Rohingya. Ia menyampaikan hal itu setelah bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, yang berkunjung ke Myanmar.
“Satu-satunya yang kami minta adalah agar orang-orang seharusnya memahami kesulitan yang kami hadapi dan memberikan ruang yang cukup untuk menyelesaikan segala persoalan kami,” kata Suu Kyi.
Pihak PBB sendiri tampaknya mau bekerja sama dengan otoritas Myanmar dalam menangani isu Rohingya. Pemerintah Myanmar berusaha meyakinkan PBB bahwa pihaknya berkomitmen untuk mengatasi akar persoalan.
Banjirnya Pengungsi Rohingya
Dalam perspektif PBB dan nilai-nilai hak asasi manusia, seluruh warga Myanmar, dari etnis maupun latar belakang apapun, seharusnya mampu hidup berdampingan dalam kesetaraan dan harmoni dengan tetangga mereka. Warga Muslim Rohingya membutuhkan dan berhak atas masa depan, harapan dan martabat. Ini bukan sekadar masalah hak masyarakat Rohingya tentang identitas diri mereka.
Indonesia telah ikut ketiban masalah akibat banjirnya kedatangan ribuan Muslim Rohingya, yang mengungsi dengan kapal-kapal laut. Indonesia membangun penampungan pengungsi di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, untuk menampung gelombang pengungsi yang melarikan diri akibat penindasan di Myanmar pada Mei 2015. Bersama Malaysia, Indonesia bersedia menampung mereka dengan syarat hanya dalam tempo satu tahun dan mendapat bantuan keuangan untuk biaya hidup mereka.
Duta Besar Myanmar untuk Indonesia Aung Htoo, saat berkunjung ke DPR RI, awal September ini, mengakui salah satu masalah yang sering muncul di negara tersebut adalah soal etnis dan agama, khususnya di Negara Bagian Rakhine. Dalam kunjungannya ke DPR RI, Htoo disambut oleh Ketua DPR RI Ade Komaruddin.
DPR meminta Htoo, agar memberitahu Indonesia bagaimana keadaan di wilayah Rakhine yang sebenarnya, serta cara agar Indonesia dan Myanmar bisa bekerja sama menyelesaikan isu Rohingya tersebut. Htoo menyatakan, selama ini permasalahan di Rakhine yang melibatkan etnis Rohingya sulit diselesaikan lantaran sistem yang tertutup. Namun kini, kehidupan di sana diklaim sudah berubah menjadi lebih baik.
Pada 29 September ini, delegasi Indonesia dijadwalkan akan mengunjungi Myanmar. Mereka akan bertemu pemimpin partai berkuasa di Myanmar, Aung San Suu Kyi. Selain membicarakan kerja sama Indonesia dengan Myanmar, para delegasi juga akan membahas soal warga Rohingya. Semoga saja, Indonesia bisa berperan signifikan, dalam membantu menyelesaikan masalah Muslim Rohingya. InsyaAllah! ***
Artikel ini ditulis oleh: