Jakarta, Aktual.com – Direktur Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar menyatakan kebijakan pemerintah untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus berstatus Sementara (IUPK-S) merupakan tindakan yang menyimpang dari ketentuan hukum.
Dia menyangkal peryataan Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang mengganggap IUPK-S sebuah solusi terbaik untuk memberikan pendapatan bagi negara serta upaya menjaga stabilitas ekonomi.
“Hanya akan untung dalam jangka pendek dengan masuknya PNBP ekspor, tapi akan rugi besar dalam jangka panjang karena industri hilir semakin terhambat, nilai ekonomi mineral yang telah dimurnikan dan diolah akan jauh lebih tinggi, investor smelter akan berpikir ulang dan multiplier effect terhambat,” paparnya kepada Aktual.com, Kamis (2/2)
Dia menyarankan pemerintah agar kembali kepada rambu-rambu dalam bernegara dan tidak sewenang-wenang melanggar perundang-undangan yang ada.
Penerbitan IUPK-S tegasnya, hanya menambah ketidak pastian investasi dan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten menjalankan UU Minerba No 4 tahun 2009.
“IUPK Sementara tidak dikenal dan tidak ada dasar hukumnya. Dipaksakan untuk akomodir kepentingan PT Freeport. Kebijakan ini jelas melanggar hukum. Bertentangan dengan UU Minerba. Semakin tidak ada kepastian hukum di industri Minerba,” tandasnya.
Sementara sebelumnya Luhut menyatakan pengeluaran IUPK-S perlu dilakukan untuk menerbitkan surat rekomendasi izin ekspor Mineral mentah agar produksi Freeport tidak berhenti.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 1 tahun 2017 menyatakan hanya entitas bisnis IUPK yang diperbolehkan ekspor Mineral mentah. Sementara untuk merubah Kontrak Karya (KK) yang dipegang Freeport menjadi IUPK, membutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh karenanya keluar diskresi oleh Kementerian ESDM dengan menerbitkan IUPK-S.
“Kan cuma sementara kan ya, enam bulan. Karena membuat yang asli kan butuh proses waktu ya. Kalau sekarang nggak dikeluarin, kan nggak bisa izin ekspor. Sambil nunggu IUPK ini, mereka masih bisa ekspor. Kita cari solusinya” kata Luhut.
Namun berdasarkan keterangan Pengamat Hukum Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi yang juga sebagai Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa menjadikan IUPK-S sebagai alibi diskresi. Karena UU No 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintah, melarang pemberian diskresi apabila bertentangan dengan UU.
“Diskresi harus dilakukan sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Jelas pemberian IUPK Sementara kepada PT Freeport bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan dan tidak dilakukan sesuai AAUPB khususnya prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif dan integritas,” pamungkasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka