Jakarta, Aktual.co — Badan Penerima Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan mengalami defisit di tahun 2015 sebanyak Rp11,7 triliun apabila tak ada intervensi terhadap suntikan dana tambahan pada BPJS. Defisit tersebut akan terus berlangsung hingga tahun 2019, sehingga iuran BPJS harus tetap dinaikkan.

Menurut Dirut BPJS Kesehatan, Elvyn G. Masassya Penyesuaian tarif BPJS kesehatan dianggap harus disesuaikan dengan inflasi, baik bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun peserta mandiri.

“Negara harus mengisi kekurangan pada tahun 2014-2015, sehingga kenaikan tarif harus sejalan inflasi,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Elvyn G. Masassya saat Rapat bersama Komisi  IX DPR RI di Ruang Rapat Komisi IX, Senayan, Jakarta, Senin (30/3).

Meski demikian, Evelyn mengaku tetap akan mencari akar permasalahan dimana banyak rumah sakit (RS) hanya menerima passien yang menguntungkan saja, dan mengembalikan pasien yang dinilai tak memberikan feedback.

“Ini karena RS tak efisien mengelola atau memang tarifnya tak sesuai inflasi,” katanya.

Evelyn membenarkan adanya efek pengendalian fraud pada RS yang belum bisa dihitung. Namun, lanjut dia, BPJS telah melakukan perbaikan pelayanan, walaupun belum maksimal. Seperti penambahan kantor-kantor BPJS regional dan di sentra industri.

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moloek membenarkan penyesuaian iuran pada peserta mandiri.

“Dirut BPJS sedang penghitungan dulu, karena belum ada pengalaman, dicoba hitung dari angka asumsi dulu,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Nila berharap setelah satu tahun penghitungan secara statistik tak ada defisit lagi. Sebab, jika setiap tahun terdapat defisit BPJS, lama-lama kepercayaan terhadap BPJS akan luntur.

“Mandiri harus lihat kelasnya, untuk kelas I, Rp50.900 terlalu kecil, harus dinaikkan. Tapi jangan yang mandiri kelas 3, Itu yang belum kita putuskan,” katanya

Artikel ini ditulis oleh:

Eka