Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H — Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Jakarta, aktual.com – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini tengah memeriksa permohonan uji materiil terkait larangan perekaman audio-visual ketika Wajib Pajak bertemu dengan pejabat pajak.
Langkah ini membuka ruang penting bagi publik untuk kembali menegaskan hak dasar warga atas transparansi, kejelasan prosedur, dan perlindungan dalam setiap proses pelayanan perpajakan.
Dalam perkara yang disidangkan MK sebagaimana diberitakan melalui situs resmi Mahkamah, pemohon mengemukakan bahwa ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP selama ini kerap dipahami secara keliru. Norma yang sejatinya membebankan kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak, justru diinterpretasikan seolah-olah memberi kewenangan bagi pejabat untuk melarang Wajib Pajak mendokumentasikan interaksi. Argumentasi pemohon bahwa interpretasi tersebut telah melampaui maksud pembentuk undang-undang merupakan isu yang sangat relevan dan patut dijadikan perhatian serius.
IWPI memandang persoalan ini bukan sekadar perdebatan teknis tentang boleh tidaknya perekaman, melainkan menyangkut hak fundamental warga untuk memperoleh bukti dan rasa aman dalam proses administrasi negara. Kantor pajak adalah ruang publik, bukan ruang privat. Interaksi antara pejabat dan Wajib Pajak adalah interaksi pelayanan publik yang harus dapat diuji, dievaluasi, dan dipertanggungjawabkan. Karena itu, dokumentasi—baik berupa catatan, rekaman, maupun notulensi—merupakan bagian wajar dari mekanisme perlindungan warga, bukan ancaman terhadap institusi.
Lebih jauh, fakta bahwa DJP sendiri dalam sejumlah regulasi internal justru mewajibkan perekaman audio-visual pada proses tertentu seperti Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) semakin memperkuat bahwa pelarangan yang dilakukan kepada Wajib Pajak tidak hanya tak konsisten, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesenjangan perlakuan. Jika fiskus boleh merekam demi kepentingan dokumentasi, mengapa Wajib Pajak tidak boleh melakukan hal yang sama untuk melindungi haknya?
IWPI menegaskan bahwa transparansi bukan ancaman bagi pejabat pajak yang bekerja dengan baik. Sebaliknya, transparansi adalah benteng integritas yang menjaga kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan. Perekaman tidak dimaksudkan untuk menghakimi, tetapi untuk mencegah intimidasi, memastikan kesesuaian prosedur, dan menyediakan bukti yang objektif apabila terjadi perbedaan pendapat atau sengketa.
Oleh karena itu, IWPI memandang langkah MK membuka ruang dialog ini sebagai momentum penting untuk memperbaiki ekosistem pelayanan perpajakan. Norma hukum harus dipertegas agar tidak lagi multitafsir. Hak Wajib Pajak harus dilindungi secara eksplisit. Dan pejabat pajak harus memiliki pedoman yang konsisten dengan semangat akuntabilitas serta pelayanan publik yang modern.
Dalam kesempatan ini, IWPI mendorong seluruh Wajib Pajak untuk tetap tenang namun tegas. Bila mengalami larangan perekaman tanpa dasar hukum yang jelas, catat kronologinya, simpan bukti, dan segera laporkan melalui kanal-kanal pengawasan yang tersedia, termasuk Ombudsman RI. Kita semua berhak mendapatkan pelayanan yang transparan dan bebas dari ketidakpastian.
Dengan penuh keyakinan, IWPI menyatakan dukungan terhadap upaya konstitusional ini sebagai langkah memperkuat hak warga serta memperbaiki hubungan penyelenggara negara dan publik dalam bidang perpajakan.
Karena ketika pelayanan pajak menjadi transparan, maka kepercayaan tumbuh; dan ketika kepercayaan tumbuh, negara berdiri lebih kuat.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















