Jakarta, aktual.com — Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menilai upaya pemerintah mengejar target penerimaan pajak tahun 2025 semakin menjauh dari akar persoalan. Dengan realisasi penerimaan hingga akhir November 2025 yang baru mencapai sekitar 78,7 persen, IWPI memandang bahwa kegagalan mencapai target bukan semata persoalan kinerja pemungutan, melainkan akibat sistem perpajakan yang tidak pernah dibenahi secara mendasar.
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP, menegaskan bahwa selama ini kebijakan perpajakan lebih berfokus pada mengejar angka target, bukan membangun fondasi kepatuhan jangka panjang.
“Target pajak terus dikejar dari tahun ke tahun, tetapi sistemnya tetap sama: rumit, menekan, dan minim kepastian. Dalam kondisi seperti ini, kepatuhan tidak akan tumbuh secara alami,” ujar Rinto.
IWPI menilai pemerintah masih memosisikan rakyat dan pelaku usaha sebagai objek pemungutan, bukan sebagai warga negara yang harus dilayani. Pendekatan ini, menurut IWPI, menciptakan relasi yang timpang antara fiskus dan wajib pajak, di mana kepatuhan lahir dari ketakutan terhadap sanksi, bukan dari kepercayaan pada sistem.
Sebagai pembanding, IWPI menyinggung pendekatan negara lain yang menanamkan paradigma pelayanan sejak lini terdepan birokrasi. Di Indonesia, pendekatan serupa dinilai belum tercermin dalam kebijakan perpajakan.
Selain persoalan paradigma, IWPI menyoroti regulasi perpajakan yang masih tumpang tindih dan tidak kunjung disederhanakan. Banyak aturan dinilai multitafsir, berubah-ubah, dan sulit dipahami, sehingga membuka ruang sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Masalah lain yang dianggap krusial adalah ketidaksinkronan antara pernyataan pejabat dan kepastian regulasi. IWPI mencontohkan kebijakan PPh Final UMKM 0,5 persen yang berulang kali disebut akan diperpanjang, namun hingga penghujung 2025 belum didukung regulasi yang jelas.
“Dalam perpajakan, ketidakpastian adalah masalah serius. Wajib pajak tidak bisa diminta patuh jika arah kebijakan berubah-ubah dan tidak pernah dipastikan,” kata Rinto.
Terkait penerapan Coretax, IWPI kembali menegaskan bahwa pembaruan sistem tidak akan efektif selama urutannya keliru. Menurut IWPI, pembenahan seharusnya dimulai dari penyederhanaan proses bisnis perpajakan, diikuti penataan regulasi yang selaras, dan barulah pengembangan aplikasi sebagai alat pendukung.
IWPI juga mengingatkan bahwa jika Coretax berjalan tanpa dibarengi perbaikan regulasi, justru berpotensi memperbesar sengketa perpajakan. Sengketa yang meningkat, pada akhirnya, akan menurunkan tingkat kepatuhan dan kembali menghambat penerimaan negara.
“Selama sistemnya tidak dibetulkan, mengejar target pajak hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang berujung pada kegagalan yang sama,” pungkas Rinto.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















