Jakarta, Aktual.com – Jaringan Tambang (JATAM) merasa kecewa dengan kebijakan Menteri ESDM, Arcandra Tahar yang menyetujui perpanjang ijin ekspor konsentrat Freeport hingga 11 Januari 2017. Kebijakan itu dinilai bukan hanya terjadi tumpang tindih pelanggaran peraturan dan perundang undangan, tapi sebagai wujud potret nyata bagaimana sebuah kebijakan Negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi.
Direktur Kampanye JATAM, Ki Bagus Hadi Kusuma mengemukakan bahwa ketentuan UU no 4 tahun 2009 pasal 170 menyatakan pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam Negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak diberlakukan (2014). artinya setelah tahun 2014 tidak diperbolehkan melakukan ekspor produk mentah (konsentrat).
Namun kebijakan pemerintah mengeluarkan ijin ekspor dengan dasar Peraturan Pemerintah (PP) no 1 tahun 2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM no 11 tahun 2014 yang bertentangan dengan UU no 4 tahun 2009. Kendati begitu, dalam realisasinya-pun pemerintah juga melanggar Permen tersebut.
“Peraturan Menteri ESDM 11 tahun 2014 pasal 13 mengatakan perpanjangan ekspor diberikan apabila pembangunan Smelter mencapai 60 persen. Faktanya, hingga April 2016, kemajuan pembangunan smelter Freeport di Gresik hanya 30 persen, namun perpanjangan izin ekspor Freeport tetap diberikan hingga lima kali. Inilah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan Negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi,” kata Hadi di Jakarta, Jumat (12/8)
Bukan hanya itu, saat sebelum berakhirnya perpanjangan izin ekspor yang ketiga (25 Januari 2016), Pemerintah menyatakan tidak akan memperpanjang izin ekspor sebelum Freeport membayar dana jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta. Namun ketentuan ini kembali bisa dinegosiasikan oleh Freeport. Tanpa membayar sepeserpun dana jaminan smelter, Freeport akhirnya mendapatkan perpanjangan izin ekspor.
“Dengan alasan menyelamatkan Pendapatan Negara, Pemerintah selalu memberi kenyamanan bagi Freeport untuk terus mengeruk emas di Papua. Pada tahun 2014, Freeport menyetor pajak dan royalty sebesar Rp 5,6 triliun. Di tahun yang sama, Pendapatan Negara dalam APBN sebesar Rp 1.667,1 triliun. Artinya, besaran pajak dan royalti yang disetorkan Freeport tidak sampai 0,4 persen dari pendapatan Negara,” pungkas Hadi. (Dadadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka