Jakarta, aktual.com – Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu, mempertanyakan arah kedaulatan ekonomi Indonesia setelah muncul polemik izin internasional bagi tiga bandara khusus. Ia menilai situasi ini menguatkan kegelisahan banyak pihak.

“Saya makin memaklumi keresahan Bapak Menhan atas terancamnya kedaulatan ekonomi,” ujarnya, dikutip dari X, Jumat (28/11/2025).

Polemik itu mencuat ketika pemerintah melalui Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menerbitkan Kepmenhub Nomor KM 38 Tahun 2025 pada 8 Agustus 2025. Aturan tersebut memungkinkan tiga bandara khusus melakukan penerbangan langsung ke luar negeri, baik untuk penumpang maupun kargo, dan hal itu dianggap berisiko bagi pengawasan negara.

“Ketiga Bandara tersebut adalah tempat perampokan sumberdaya alam,” ujar dia.

Tiga bandara yang dimaksud berada di Morowali milik PT IMIP, di Halmahera Tengah milik PT Wade Bay Nickel, serta di Pelalawan Riau milik PT APP. Dua dari perusahaan itu terkait dengan investor China.

Said Didu menilai lokasi tersebut sensitif karena berada di pusat aktivitas industri ekstraktif yang menggerakkan arus bahan tambang. “Sebagai info, bahwa Menhub adalah Wakil Bendahara Tim Pemenangan Pasangan Jokowi – Ma’roef pada Pilpres 2019,” ujarnya.

Ia kemudian mengaitkan persoalan ini dengan dugaan skandal di kawasan IMIP. Menurutnya, terungkapnya bandara IMIP sebagai bandara ilegal oleh tim PKH yang dipimpin Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsuddin adalah sinyal kuat adanya masalah besar.

“Saya duga keras bhw ada skandal besar di IMIP,” ujar dia.

Indikasi pertama yang disampaikan Said Didu adalah soal rencana peresmian IMIP pada Mei 2015. Ia menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu meminta pandangan Menteri ESDM Sudirman Said, yang memberi masukan agar peresmian tidak dilakukan karena belum clean and clear.

Namun Presiden tetap meresmikannya tanpa mengikutsertakan Menteri ESDM. “Tapi Presiden tetap meresmikan tanpa mengajak Menteri ESDM,” ujarnya.

Indikasi kedua adalah keberadaan pelabuhan bebas berukuran besar di kawasan tersebut. Fasilitas itu menurutnya menjadi titik keluar masuk komoditas bernilai tinggi dengan pengawasan yang dinilai tidak optimal. “Di lokasi tersebut juga terdapat pelabuhan bebas yang sangat besar,” ujar dia.

Sementara indikasi ketiga berkaitan dengan kasus ekspor ilegal ore nikel sebesar 5,3 juta ton yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan nilai mencapai Rp 14,5 triliun. Ia menduga aktivitas itu melalui pelabuhan yang berada dalam kawasan IMIP, dan keterlibatan pejabat tinggi negara belum diungkap secara tuntas.

“Yang diduga melibatkan pejabat tinggi negara yg sampai saat ini masih ditutupi,” ujarnya.

Said Didu menyatakan bahwa pengamatannya bukan tanpa dasar. Ia menyebut sudah empat kali mendatangi kawasan IMIP, sebelum dan sesudah peresmian, dengan kunjungan terakhir pada 2025. “Jadi agak paham,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain