Jakarta, Aktual.com — Pinjaman uang sebesar US$3 miliar atau sekitar Rp40 triliun dari Bank Pembangunan Cina (CDB), yang ditanam di tiga bank pemerintah, akan dialokasi untuk menutup biaya proyek infrastruktur.
Namun nyatanya, ketiga bank penerima pinjaman yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI) malah mengalokasikan sebagian besar dana tersebut untuk industri manufaktur.
Bahkan, dua bank nasional yakni Bank Mandiri dan BNI disebut-sebut mendanai akuisisi PT Newmont Nusa Tenggara oleh PT Medco Energi Internasional Tbk. Artinya, Medco meminjam dana kepada Bank Mandiri dan BNI.
“Saya melihat dari dua sisi. Dari sisi bisnis nggak masalah. Tidak ada masalah perbankan kita meminjam dana dari luar kemudian meminjamkannya kepada perusahaan-perusahaan swasta,” ujar anggota Komisi VI DPR RI Eka Sastra, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/4).
Menurutnya, ada beberapa keuntungan. Pertama, perusahaan swasta yang dipinjamkan dana menjadi berkembang. Kedua, kapasitas perbankan nasional meningkat dengan adanya uang pinjaman tersebut.
“Cuma secara politiknya, yang jadi permasalahan adalah dana untuk infrastruktur tapi kenapa beredar kemana-mana. Meski kata BUMN sudah persetujuan dari China sendiri. Jadi hanya itu aja yang perlu di-clear-kan. Bahwa kenapa nggak semuanya ke infrastruktur tapi ke energi dan lainnya juga,”
“Artinya kan harusnya dari awal. Nggak usah kita bilang butuh dana untuk infrastruktur,” jelas Politikus Golkar itu.
Eka belum mengetahui apakah pinjaman itu memang sudah diarahkan pemerintah atau tidak, namun sudah tercatat mana-mana saja perusahaan yang ingin meminjam dana tersebut.
“Belum tahu kesana. Tapi katanya mereka sudah buat list yang mau meminjam dengan kredit komersil ke-3 bank tadi mereka ingin pinjam. Itu yang jadi catatan mereka untuk minjam. Jadi saya belum tau ini diarahkan atau tidak,” ungkapnya.
Eka menegaskan bahwa persoalan pinjam meminjam dana untuk kepentingan bisnis tak masalah. Yang jadi perdebatan, dari awal pemerintah tak secara transparan menyebut pinjaman itu bukan saja untuk infrastruktur.
“Bisnis nggak masalah. Walaupun energi juga mereka masih perdebatkan untuk infrstruktur. Saya kira konsennya itu aja,” katanya.
Sementara, terkait proses pencairan yang begitu cepat, Eka menuturkan itu dikarenakan China tengah mengejar keuntungan dan mencari peminjam karena sedang over likuiditas.
“Disitu ada prinsip kehati-hatian perbankan. Disitu ada MoU . Disana di China lagi over likuiditas. Mereka cari tempat untuk bisa meminjamkan dananya keluar. Dan kita yang pinjam dana sekitar bunga 4-5% kan menguntungkan bagi mereka,” tuturnya.
Eka menyarankan pemerintah agar bisa menjelaskan mengapa peminjaman tak digunakan sepenuhnya untuk infrastruktur. Sebab, sebagian pihak menilai peminjaman itu bukan berdasar ‘Bussiness to Bussiness’, meski ia menilai proyek tersebut merupakan B to B.
“Jadi saya masih menganggap itu B to B, tapi persoalan kok nggak semuanya ke insfrastruktur. Harusnya ada clearing dari pemerintah. Kenapa nggak 100% infrastruktur? harusnya dijelaskan. Makanya ini jadi bola liar,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: