Sejumlah pekerja mengangkut karung beras untuk stok di gudang penyimpanan Sub Drive Regional Bulog Punteuet, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (18/5). Perum Bulog setempat menyimpan stok 7000 ton beras kebutuhan Juni-Agustus 2016 untuk menghadapi Ramadan dan Idul Fitri, meliputi kebutuhan beras tiga kabupaten/kota di Aceh. ANTARA FOTO/Rahmad/kye/16

Jakarta, Aktual.com — Pemerintah merencanakan akan mengganti mekanisme pengucuran beras untuk orang miskin (raskin) dengan Voucher Pangan yang nantinya akan dapat dibarter dengan beras atau telur.

Mekanisme baru ini secara otomatis akan mengganti peran Badan Urusan Logistik (Bulog) ke pedagang ritel swasta melalui pengadaan voucher.

“Voucher Pangan ini tidak akan mampu menjaga stabilitas pangan, terutama beras. Makanya kami akan menolak,” jelas Wakil Ketua Komisi IV DPR, E Herman Khaeron di Jakarta, Rabu (18/5).

Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah melalui Kantor Staf Presiden tengah berencana mengganti kebijakan raskin dengan pemberian Voucher Pangan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran yang dapat dibarter dengan beras dan telur.

Menurut Herman, kebijakan Voucher Pangan ini sama halnya dengan menggeser peran dan fungsi Bulog yang selama ini menjaga pasokan dan penyaluran beras, termasuk neras raskin.

“Selama ini Bulog yang mengemban tugas penyaluran raskin. Apakah peran sistem ketahanan pangan bisa diambil alih oleh voucher? Kalau mau mengganti peran Bulog, maka kebijakan voucher ini harus punya stok nasional yang 3,5 juta ton itu,” tegas dia.

Bahkan dengan kebijakan ini hanya akan menjadi permainan para spekulan. “Kami rasa voucer pangan ini akan menjadi permainan spekulan, atau bahkan para mafia. Karena sistem dari pemerintah sering membuka celah bagi spekulan,” cetusnya.

Dia memperkirakan, rencana penerapan Voucher Pangan akan memicu peningkatan inflasi komponen volatile food, seperti yang terjadi pada awal 2015 terkait wacana pemerintah sejak November 2014 yang akan menganti kebijakan raskin dengan uang elektronik.

“Pada November 2014 pemerintah ribut-ribut mengganti raskin menjadi e-money. Harga pangan merangkak naik sejak Desember 2014 sampai Februari 2015 yang naik tinggi,” tuturnya.

Pandangan yang sama juga disampaikan Pengamat Kebijakan Pertanian, Bustanul Arifin. Menurutnya, kebijakan raskin terbukti telah memberikan kontribusi terhadap stabilitas harga pangan. “Kalau penyaluran raskin terlambat, maka harga pangan melonjak,” imbuhnya.

Dia menyebutkan, pada 2015 penyaluran raskin sempat mengalami keterlambatan hingga dua bulan lebih. “Akhirnya, saat itu harga pangan, terutama beras melonjak hingga 25 persen. Saya yakin sistem voucher ini tak akan mampu menjaga stabilitas pangan,” tandas Bustanul.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka