Jakarta, Aktual.co — Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi sebagai pengganti UU 8 tahun 1971 adalah awal dari semua bencana dan kerusakan serta mal praktik tata kelola migas di Indonesia. Kemudian melalui Judicial Review ke MK oleh sejumlah koalisi masyarakat sipil bersama ketua umum PP Muhammadiyah kemudian mengabulkan untuk sebahagian permohonan dengan mengeluarkan putusan No.36/PUU-X/2012 untuk membubarkan BP Migas di bawah pimpinan Raden Priyono (RP).

Selain itu, mengembalikan harga minyak dunia ditetapkan oleh negara dimana sebelumnya penetapannya mengikuti mekanisme pasar.

“Namun yang menjadi permasalahan kemudian adalah Presiden SBY mengeluarkan perpres dengan mengkloning kembali BP Migas dalam bentuk yang berbeda dengan fungsi yang sama yaitu SKK Migas,” ujar Koordinator Indonesia Energi Watch (IEW), M. Adnan Rarasina dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (7/6).

Menurutnya, pembentukan tersebut seperti Sebelas duabelas dengan BPMigas, SKK Migas ternyata sama liberalnya dalam menjalankan fungsinya. Bahkan menjadi rantai birokrasi baru yang lebih korup.

“Jika dizaman RP gaya hidup jetset jadi trendmark serta korupsinya dilakukan di bawah meja, maka di zaman SKK Migas, korupsi bahkan dengan meja-mejanya diangkut sekalian dan melibatkan berbagai stakeholder seperti kemen ESDM, Komisi Energi DPR serta korporat bidang migas. Sebut saja mata rantai korupsi ini antara lain pada Kasus TPPI, Pemerasan oleh Jero Wacik, Wiyono Karno dan terakhir THR Komisi VII DPR yang melibatkan Sutan Batoegana menyusul Zainudin Amali cs,” jelasnya.

Untuk itu, lanjutnya, jika Jokowi benar-benar ingin mereformasi sektor migas maka  tidak cukup hanya dengan membubarkan Petral dan terus menerus mengobok obok Pertamina serta  mengkambinghitamkan pemerintahan sebelumnya melalui tim Faisal Basri dkk.

“SKK Migas ini wajib a’in untuk di bubarkan karena selain melanggar UU yang sudah dibatalkan MK, juga sudah menjadi pusat lingkaran korupsi baru,” jelasnya.

Menurutnya, terkait kewenangan SKK Migas bisa dikembalikan lagi ke Pertamina sebagai perusahaan energi milik negara agar menjadi kuat menyusul perusahaan energi dunia lainya yang sudah maju seperti Petronas yang dulunya berguru pada Pertamina.

Negara wajib memberikan perlindungan, proteksi dan ruang yang cukup kepada BUMN migas ini untuk menjalankan aksi korporatnya tanpa diintervensi oleh politik kekuasaan.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka