Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Pusat menolak permintaan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk memberlakukan karantina wilayah di Jakarta. Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih memilih menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dengan ditetapkannya status Darurat Sipil.

Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Racchman membenarkan hal tersebut. “Tidak diterima, itu otomatis ditolak,” kata Fadjroel, Senin (30/3) malam.

Kendati demikian, menurut Fadjroel, pemerintah daerah masih bisa menerapkan isolasi terbatas di wilayahnya. Isolasi itu diberlakukan di tingkat RT/RW atau desa.

“Walaupun ada kebijakan, sebenarnya bisa dikerjakan nanti oleh pemda dengan istilah isolasi terbatas. Ada tingkat RT, RW, desa/kelurahan dengan kebijakan gubernur, misalnya. Tapi, kalau tingkatan nasional atau provinsi itu harus di tangan Presiden. Tapi Presiden tidak mengambil karantina wilayah,” ujar dia.

“Otomatis sekarang tidak dibahas. Yang tadi dibahas PSBB pendisiplinan hukum saja, kemudian yang kedua dibahas tadi tentang keppres dan inpres mengenai mudik Lebaran,” kata Fadjroel.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho mengharapkan pemerintah untuk tidak menerapkan darurat sipil dalam rangka pengendalian penularan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

“Saya kira istilah darurat sipil perlu diluruskan, enggak tepat itu. Kalau darurat sipil itu nanti menyangkut tentang keamanan negara,” katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengan, Selasa (31/3).

Hibnu mengatakan hal itu terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa penerapan pembatasan sosial berkala besar untuk mengendalikan penularan COVID-19 perlu didampingi dengan kebijakan darurat sipil.

Menurut dia, permasalahan yang terjadi saat ini bukan masalah keamanan negara, melainkan kepatuhan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penularan COVID-19. Dengan demikian, penggunaan istilah darurat sipil harus diluruskan.

“Oleh karena itu, saya kira perlu dengan tindakan-tindakan persuasif yang terus dilakukan untuk tertib karena ini ‘kan menyangkut kebiasaan,” katanya.

Jika permasalahan tersebut dikaitkan dengan sanksi hukum pidana, menurut dia, bisa tambah berat dan menambah narapidana.

“Sekarang saja yang namanya LP (lembaga pemasyarakatan) sudah overload. Kalau sanksi hukum untuk mengarahkan ke ketertiban itu berupa denda, tidak masalah. Akan tetapi, kalau pidana kurungan, itu terlalu jauh kalau sampai diterapkan,” katanya.

Menurut Hibnu, saat sekarang yang dibutuhkan adalan tindakan semua pihak untuk saling mengingatkan dan koordinasi dalam rangka pencegahan untuk menjaga ketertiban.

“Ini kondisi global, bukan kondisi nasional sehingga perlu sama-sama memerangi COVID-19,” katanya.