Jakarta, Aktual.com — Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo menegaskan, bahwa penyidikan kasus dugaan korupsi pada pengajuan restitusi pajak dari PT. Mobile8 Telecom (PT Smartfren) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya tahun 2012 terus berjalan.
Namun dalam hal ini, Prasetyo mengaku tidak pernah menyebut nama ‘HT’ selaku mantan pemegang saham mayoritas PT Mobile8 itu terlibat dalam perkara tersebut.
“Saya tidak pernah menyebut nama ‘HT’. Yang jelas penyidikan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Prasetyo di Kejaksaan Agung Jakarta, Jumat (30/10).
Padahal, ketua tim penyidik kasus tersebut, Ali Nurudin, menyebutkan, bahwa di tahun 2007-2009, PT Mobile 8 Telecom telah melakukan perdagangan dengan salah satu distributornya yaitu PT Djaja Nusantara Komunikasi dalam bentuk produk telekomunikasi dalam jumlah Rp80 miliar.
“Sebenarnya PT Djaya Nusantara Komunikasi tidak mampu untuk membeli barang tersebut dalam jumlah itu dan sesuai keterangan saudara Eliana Djaya sebagai Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK) bahwa transaksi perdagangan tersebut hanyalah seolah-olah ada dan untuk kelengkapan administrasi pihak Mobile 8 Telecom akan mentransfer uang sebanyak Rp80 miliar ke rekening PT DNK,” kata dia.
Pada Desember 2007 lalu, PT Mobile 8 Telecom telah mentransfer sebanyak dua kali masing-masing sebesar Rp50 miliar dan Rp30 miliar. Hal tersebut untuk mengemas seolah-olah terjadi transaksi perdagangan pihak PT Mobile 8, invoice dan faktur yang sebelumnya dibuatkan ‘purchase order’.
“Jadi seolah-olah terdapat pemesanan barang dari PT DNK, yang faktanya PT DNK tidak pernah menerima barang dari PT Mobile 8 Telecom,” paparnya menjelaskan.
Pada pertengahan tahun 2008, PT DNK kembali menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 Telecom dengan total nilai Rp114.986.400.000, padahal PT DNK tidak pernah melakukan transaksi sebesar itu, tidak pernah menerima barang dan bahkan tidak pernah melakukan pembayaran.
“Diduga faktur pajak yang telah diterbitkan yang seolah-olah ada transaksi-transaksi antara PT Mobile 8 Telecom dengan PT DNK, digunakan oleh PT Mobile 8 Telecom untuk pengajuan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada kantor Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Surabaya, supaya masuk bursa di Jakarta,” demikian jelasnya.
Pada tahun 2009, PT Mobile 8 Telecom menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10.748.156.345, yang seharusnya Perusahaan tersebut tidak berhak atau tidak sah penerimaan kelebihan pembayaran pajak tersebut.
Permohonan restitusi pajak lalu dikabulkan oleh KPP, padahal transaksi perdagangan fiktif dan transaksi tersebut dilakukan saat PT Mobil8 Telecom masih dimiliki Ketua Umum Partai Perindo, ‘HT’.
Kerugian sementara atas kasus ini mencapai Rp10 miliar. “Jadi, negara dirugikan sekitar Rp10 miliar lah. Tidak menutup kemungkinan kerugian bertambah karena ini baru temuan awal,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: