Ringkasan Eksekutif BPPN 16 Januari 2004 kepada KKSK yang pada pokoknya Syafruddin selaku Ketua BPPN mengusulkan agar KKSK memutuskan antara lain penghapusan atas porsi “unsustainable debt” petambak plasma sekitar Rp2,8 triliun.

Dorojatun selaku ketua KKSK pun sependapat dengan Syafruddin dan mengeluarkan Keputusan yang menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta tanggal 27 April 2000 dan memerintahkan porsi “unsustainable debt” seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim tidak berlaku.

Padahal Dorojatun Kuntjoro-Jakti telah mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002.

Dengan adanya usulan Syafruddin selaku ketua BPPN yang kemudian diikuti oleh Keputusan KKSK pada 13 Februari 2004 tersebut maka piutang BDNI kepada petambak diperlakukan seperti aset kredit yang tidak terkait dengan PKPS dan keputusan yang mencabut 2 SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan penagihan piutang kepada Sjamsul menjadi tidak berlaku sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada Sjamsul Nursalim.

Pada 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas penyelesaian PKPS, namun Syafruddin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun serta tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul Nursalim atas misrepresentasi tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara