Jakarta, Aktual.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tak pahami mekanisme pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Akibatnya, dakwaan dan tuntutan terhadap mantan Kepala BPPN Sjafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dinilai ngawur.
Demikian disampaikan salah satu penasihat hukum SAT, Ahmad Yani, Senin (17/9).
Ia menilai, tidak ada satupun fakta hukum dalam persidangan, yang bisa membuktikan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim (SN) sebagai pemegang saham pengendali BDNI
melawan hukum.
Selain itu menurut dia, JPU juga mencampuradukkan antara kedudukan SAT sebagai Sekretaris KKSK denganKetua BPPN. SAT baru diangkat sebagai Ketua BPPN sejak tanggal 22 April 2002. Sementara Keputusan KKSK atau kebijakan Pemerintah terkait PKPS maupun Hutang Petambak sudah terjadi sebelum SAT menjabat Ketua BPPN.
Yani bahkan menuding JPU telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi SAT lebih tinggi, padahal secara hukum dan kelembagaan KKSK memiliki kewenangan lebih tinggi dibandingkan BPPN.
“Itu artinya SAT tidak bisa dituntut telah melanggar hukum formil karena dia hanya melaksanakan perintah KKSK” ujar.
Senada, anggota Tim Penasihat Hukum lainnya, Jamin Ginting, mengungkapkan perkara SAT tentang dugaan misreprentasi oleh SN atas perjanjian perikatan perdata berupa Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemerintah cq BPPN dengan SN.
Dalam fakta persidangan, MSAA terbukti sebelumnya telah diubah lima kali pada tahun 1998 sampai dengan 1999.
Namun setelah SN menerima Release & Discharge (R&D) tanggal 25 Mei 1999 tentang pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK, tidak pernah ada
lagi perubahan perjanjian MSAA, mengingat SN telah
menyelesaikan seluruh kewajibannya yang dibuktikan
dengan penerimaan Surat Pembebasan Kewajiban
BLBI dan BMPK atau R&D tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby