Terdakwa, sambung Jamin, tidak melakukan penghapus bukuan atau penghapus tagihan atas Hutang Petambak sebagaimana yang didalilkan oleh JPU.

“Dalam persidangan terbukti bahwa persetujuan
penghapus bukuan Hutang Petambak dilakukan
oleh KKSK berdasarkan Keputusan KKSK tanggal
13 Februari 2004 dan terdakwa tidak pernah menindaklanjuti perintah KKSK tersebut di atas,
karena masa kerja BPPN telah berakhir (sesuai dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2004)tanggal 27 Februari 2004,”

Tim Penasihat Hukum pun menegaskan SAT tidak
terbukti secara hukum melakukan penjualan hak tagih
utang petambak plasma PT. DCD dan PT. WM kepada
Konsorsium NEPTUNE dari Group CHAROEN POKP‐
HAND sebesar Rp220 miliar.

Dalam fakta persidangan, terbukti penjualan hak tagih Hutang Petambak dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Perseroan) pada tahun 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 30/KMK.01/2005.

Terkait dengan adanya kerugian negara, Jamin menyatakan jika quad-non LHP BPK tahun 2017 digunakan untuk menghitung kerugian negara, maka tempus delicti (waktu perbuatan) dalam audit BPK LHP tahun 2017 timbul akibat penjualan utang petambak sebesar Rp220 Milyar oleh PT PPA pada 2007.

“Peristiwa tersebut terjadi setelah terdakwa tidak lagi menjadi Ketua BPPN dan bukan dilakukan oleh terdakwa,” ujar Jamin.

Fakta baru yang terungkap adalah jika hak tagih
utang petambak tidak dijual pada tahun 2007, maka
Pemerintah cq Menteri Keuangan masih memiliki aset jaminan lahan petambak yang dijaminkan oleh 11.000 petambak, dimana berdasarkan Perjanjian Kredit
antara BDNI dan petambak, masing-masing petambak
menjaminkan tanah tambak seluas ± 0,6 hektar atau
6.000 m2 per petambak.

“Sehingga total untuk 11.000 petambak seluas 60.000.000 m2 dan karenanya nilai aset jaminan petambak sekarang berkisar Rp7,9 Triliun sampai dengan Rp12,1 Triliun,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby