Jakarta, Aktual.com — Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Yudi Krisnandi mengibaratkan, kasus yang menjerat bekas Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella seperti cerita dalam pewayangan ksatria Pandawa.
“Sungguh dari ruang sidang utama pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat ini telah melahirkan pembelajaran hukum yang menarik bagi para penstudi hukum. Karena dari perisitiwa ini sekaligus mengingatkan akan sebuah kisah ksatria Antareja, ksatria dari Pandawa yang merupakan anak dari Werkudara,” kata jaksa Yudi Krisnandi dalam sidang pembacaan tuntutan di pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (7/12).
Antareja adalah salah satu tokoh pewayangan yang merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa. Dia merupakan putra sulung Werkudara atau Bimasena dari keluarga Pandawa Antareja memiliki sejumlah kesaktian, misalnya adalah lidahnya sangat sakti, makhluk apapun yang dijilat bekas telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja juga berkulit Napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata serta memiliki ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Dia pun memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir.
Namun Antareja pun akhirnya menemui ajal saat perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tumbal keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.
“Meskipun Antareja memiliki kesaktian berupa cincin Mustikabumi yang bisa menghidupkan diri dari takdir kematian, bahkan juga memiliki ajian Upasanta dimana siapapun yang bekas tapak kakinya dijilat akan menemui kematian, namun dia tidak menggunakan kesaktiannya itu untuk menjilat tapak kaki musuh dan lawan politik yang jelas-jelas telah mencelakakannya,” kata Yudi mengumpamakan kisah Rio Capella.
Namun Antareja malah mengorbankan diri sebagaimana juga Rio Capella dalam kasus pengamanan Bansos Pemprov Sumatera Utara itu. “Demi ketaatannya atas perintah Prabu Kresna, Antareja rela gugur dengan menjilat telapat kakinya sendiri. Sungguh pengorbanan diri Antareja merupakan bentuk keteladanan langka di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri sendiri ini yang hanya mengedepankan kepentingan kekuasaan dan dirinya sendiri,” ujar jaksa Yudi.
Bahkan selain Antareja yang berkorban, Yudi menyebut, dirinya terpaksa untuk “bersemedi” (bertapa) karena dia akan dimutasi menjadi Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI di Jakarta. Terlebih, surat keputusan itu sudah ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan Bambang Waluyo berdasarkan surat tertanggal 14 November 2015.
“Namun demikian sangat disayangkan karena begitu saktinya sang lakon yang dimainkan Ki Dalang, maka gugurnya Antareja justru mengakhiri cerita sekaligus panggung hukum pemberantantasan korupsi yang melibatkan gubernur, DPRD, dan advokat terkenal itu. Bahkan tidak sampai di situ, pengorbanan Antareja mampu memaksa Ki Dalang menggulung kelir dan mengantarkannya ‘Madeg Pandita’ untuk ‘semedi’ dan ‘lelaku’ di perguruan Ragunan,” kata jaksa Yudi.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu